Kerja Otak, Kerja Badan

Wednesday 23 August 2017

Kerja Otak, Kerja Badan

Kerja Otak, Kerja Badan
Tampaknya rumus ini berlaku: kerja otak lebih dihargai ketimbang kerja badan. Terutama di negeri ini, kerja yang mengandalkan pikiran (sedikit fisik) diupah jauh lebih tinggi ketimbang kerja badan. Yang namanya manajer, supervisor, mandor maupun pekerja kerah putih lainnya (yang bekerja dengan sedikit menggerakkan badan) diupah mulai 2 hingga 20 kali ketimbang pekerja kerah biru (baca: buruh).

Kerja badan bukan (sekedar) kerja otot atau hanya tenaga saja. Kerja badan juga melibatkan kemampuan otak. Pekerja paling kasar sekalipun tetap mengandalkan otak agar menghasilkan produk atau hasil kerja yang optimal, baik dari segi mutu maupun kecepatan.

Buruh pabrik jelas menggunakan otak secara maksimal. Selain ketrampilan teknis harus dikuasai, buruh harus konsentrasi agar terhindar resiko kerja. Pun, buruh mesti berstrategi mengeluarkan tenaga agar dapat bertahan seharian kerja, bahkan terkadang lembur. Tanpa kerja otak yang optimal dalam kerja badan, akan menghasilkan cara kerja yang grusa-grusu, ceroboh dan rawan celaka.

Nah, entah kenapa kerja otak memiliki status lebih tinggi ketimbang kerja badan. Tidak cuma lebih tinggi, namun secara ratio pun tidak proporsional lagi atau terlalu njomplang. Gaji cleaning service di kampus UI misalnya 40 kali lebih kecil dari rektor UI, atau seperti di Kabupaten Bandung, antara buruh dan manajer perbandingan gajinya bisa 1:20.

Kenapa bisa terjadi situasi seperti ini? Apakah memang harus seperti ini? Penghargaan berlebihan terhadap kerja otak dan (sementara di sisi lain) “penghinaan” terhadap kerja badan, hanya akan mendorong etos kerja rendah. Orang malas bekerja keras karena justru dibayar rendah ketimbang yang tidak terlihat bekerja tapi malah sejahtera. Maka tak heran ratusan ribu orang berjejal mendaftar jadi PNS! Orang terilusi menjadi borjuis (entah kecil entah besar) padahal jelas tilikan kelasnya adalah proletar!

Di sisi lain, buruh yang merasa hanya mengandalkan otot berada dalam posisi rendah diri, karena seakan-akan tidak berpikir guna bekerja dan berpendapatan darinya. Kebisaan dan ketrampilan tidak pula dia hargai tersebab statusnya lebih rendah dari kerja otak ala manajer. Buruh lantas merasa bodoh dan tidak berdaya di hadapan mandor, supervisor atau manajer yang parlente, terlihat pintar dengan tangan yang bersih.


1 komentar:

Galih Agung Prastyo said...

sebenarnya sama saja... bagi sebagian orang beranggapan kerja otot tidak lebih di hargai dari pada kerja otak.... sekarang kita bandingkan saja dari tanggung jawabnya... sebagian besar yang dihargai disini bukan bekerja dengan otak atau ototnya tapi dari dasar tanggung jawabnya..

contoh seperti buruh kasar di pabrik dan manager pabrik tersebut ..
mengapa manager lebih besar penghasilanya dari pada buruh tersebut?

jawabannya mudah ... Tanggung Jawab!
tapi ada contoh lain ... buruh kasar pabrik dengan pegawai kantor di pabrik trsbt..
ada kalanya penghasilan buruh kasar pabrik lebih besar dari pegawai kantor..
dan di sebagian perusahaan mereka juga lebih di hargai dari pada pegawai yang menggunakan otak.

maaf jika ada tutur kata yang tidak berkenan..