PHK Dengan Alasan Alasan Ini Dilarang Undang-Undang

Sunday 23 December 2018

PHK Dengan Alasan Alasan Ini Dilarang Undang-Undang

  

Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah salah satu jenis perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pengusaha dan buruh yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang penyelesaiaan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) memberi defenisi terhadap “Perselisihan Hubungan Industrial” sebagai berikut:

“Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Meski undang-undang ketenagakerjaan mengamanatkan kepada pengusaha, pekerja atau buruh, serikat pekerja atau serikat buruh, dan pemerintah, supaya dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), namun pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa dasar dan alasan yang jelas terhadap buruh masih sering terjadi. Padahal undang-undnag sudah menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara tegas melarang Pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan:

  1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  4. Pekerja/buruh menikah;
  5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
  7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
  10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

0 komentar: