Salinan Dan Fotokopi-Dua ALat Bukti Yang Berbeda Menurut Hukum, Kuat Mana?

Wednesday 28 March 2018

Salinan Dan Fotokopi-Dua ALat Bukti Yang Berbeda Menurut Hukum, Kuat Mana?

Bukti Salinan Dan Fotokopi Kuat Mana?

Secara umum, baik salinan maupun fotocopy sama-sama digunakan untuk menyebut hasil penggandaan fotografis suatu barang cetakan. Pada dasarnya, salinan hampir tidak ada bedanya. Perbedaannya hanya pada instrumen yang dipergunakan. Salinan pada umumnya menggunakan peralatan konvensional secara manual dalam pengandaan sedangkan fotokopi mempergunakan sistem dan peralatan elektronik yang canggih.

Ditinjau dari segi pendekatan persamaan atau persesuaian (fungibility), hasil fotokopi jauh lebih tinggi kualitas identiknya dengan orisinilitasnya dibanding dengan salinan yang menggunakan sistem atau cara konvensional manual maupun salianan tulis tangan. Akan tetapi, penilaian dan penghargaan yang diberikan hukum pembuktian terhadap salinan jauh lebih tinggi dibanding dengan fotokopi. 

Tingginya derajad salinan diakomodir dalam Pasal 1889 KUHPerdata, Pasal 302 RBg yang mempersamakan salinan dengan aslinya. Oleh Pasal tersebut salinan dianggap identik dengan aslinya. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada salinan pertama (grosse pertama) sama dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada aslinya.

BACA JUGA:
Salinan Sebagai Alat Bukti Serta Kekuatan Pembuktiannya
Mengetahui Sumpah Konfirmator Dan Sumpah Promisor Dalam Hukum Acara Perdata

Sebaliknya, sampai sekarang belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang membicarakan sejauh mana kesamaan maupun keidentikan fotokopi dengan aslinya. Begitu juga yurisprudensi, belum pernah memberi argumentasi yang mendalam mengenai kedudukan fotokopi sebagai alat bukti.

Secara umum, pengakuan keabsahan identiknya fotokopi dengan aslinya yaitu apabila para pihak mampu dan dapat menunjukkan aslinya di persidangan. Selama tidak dapat ditunjukkan aslinya, fotocopy tidak bernilai sebagai salinan pertama atau salinan keberapa, sehingga tidak sah sebagai alat bukti. Pendirian yang demikian secara tegas dan gamblang dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung No. 7011 K/Sip / 1974, antara lain dikatakan bahwa putusan yang didasarkan pada surat bukti fotokopi - fotokopi tidaklah sah karena surat bukti fotokopi - fotokopi tersebut dinyatakan sama dengan aslinya, sedang terdapat di antaranya perbedaan-perbedaan yang penting secara substansial. Dengan demikian, judex facti telah memutus perkara berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah.

Pendapat yang sama ditegaskan dalam Putusan  MA No. 3609 K/Pdt/1985. Dikatakan bahwa surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti. Sama halnya dengan Putusan MA No. 112 K / Pdt / 1996 yang mengatakan bahwa bukti fotokopi kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampngkan.
                                                                                        
  • Ali Chidir. 1983. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung:Armico.
  • Iswoyokusumo, Ida. 1994. Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam Penyeesaian  Perkara Perdata di Nederland. Jakarta: Bina Yustisia.
  • Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
  • Samudera, Teguh. 1992 Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung. Alumni.
  • Harhap, M. Yahya.. Hukum Acara Perdata Indonesia
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata
  • Herziene Indonesische Reglement (HIR)
  • Reglement voor de buitengewesten (RBG)
  • Reglement of de Rechtsvordering (Rv)

0 komentar: