Tata Cara Pemanggilan Yang Sah Di Pengadilan

Thursday, 14 March 2019

Tata Cara Pemanggilan Yang Sah Di Pengadilan

Tata Cara Pemanggilan Yang Sah Di Pengadilan

Rangkaian proses pemeriksaan persidangan harus berjalan menurut tatacara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan persidangan tingkat pertama di pengadilan (PN/PA), tingkat banding di Pengadilan Tinggi/Pengadilan Tinggi Agama, dan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, diawali dengan proses pemanggilan atau bisa juga disebut panggilan kepada Tergugat harus dilakukan secara patut, patut artinya memenuhi masa tenggang waktu persidangan, sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja, sebagaimana diatur pasal 122 HIR.  Oleh karena itu, sah tidaknya pemanggilan dan pemberitahuan yang dilakukan oleh pihak pengadilan sangat menentukan baik atau buruknya proses pemeriksaan persidangan.

Panggilan menurut hukum acara perdata ialah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (property) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Tentang cara pemanggilan-pemanggilan menurut hukum diatur dalam Pasal 390 ayat 1 dan ayat 3 HIR serta Pasal 1 dan 6 ke-7 Rv. 

Menurut pasal 388 dan pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah jurusita. Hanya yang dilakukan jurusita pengadilan dianggap resmi dan sah. Kewenangan jurusita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua majelis hakim yang dituangkan pada Penetapan Hari Sidang atau Penetapan Pemberitahuan.

Berdasarkan ketentuan - ketentuan ini, dapat diklasifikasikan tata cara panggilan berdasarkan faktor diketahui atau tidaknya tempat tinggal tergugat atau orang yang dipanggil.

Tata Cara Pemanggilan Apabila Tempat Tinggal Tergugat Diketahui


Apabila tempat tinggal atau kediaman Tergugat atau orang yang dipanggil diketahui, tata cara pemanggilan-pemanggilan yang sah adalah sebagai berikut:

1. Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan Tergugat (Pasal 390 ayat 1, Pasal 1 Rv).
2. Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri, jadi harus disampaikan secara in person kepada Tergugat atau keluarganya.

Mengenai pengertian ini person, diperluas oleh Pasal 3 Rv meliputi keluarganya. Tetapi sejauh mana pengertian keluarga yang disebut dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Dalam praktik peradilan, ketentuan Pasal 3 Rv telah dijadikan pedoman. Sehubungan dengan itu praktik peradilan telah menganggap sah panggilan yang disampaikan kepada keluarga apabila tergugat secara in person tidak ditemui oleh juru sita di tempat kediamannya.

Jangkauan pengertian keluarga yang diterapkan dalam praktik peradilan meliputi istri dan anak yang sudah dewasa, ayah atau ibu. Jadi hanya terbatas pada keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah serta istri, tidak meliputi hubungan darah ke samping, sedangkan hubungan keluarga karena perkawinan hanya meliputi suami atau istri sajae. Pengertian keluarga juga tidak meliputi pembantu rumah tangga dan karyawan.

3. Disampaikan kepada Kepala Desa apabila yang bersangkutan tidak ditemukan di kediamannya. Pasal 390 ayat 1 HIR dan Pasal 3 Rv menjelaskan bahwa apabila yang bersangkutan atau keluarganya tidak ditemukan di kediamannya.

Penyerahan panggilan melalui Kepala Desa juga disertai dengan perintah agar Kepala Desa agar segera menyerahkan surat panggilan tersebut kepada yang bersangkutan berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR yang bunyinya;

“Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya, dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum”

Dari pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dalam hal Tergugat tidak dijumpai di tempat tinggal atau kediamannya, maka jurusita/jurusita pengganti menyampaikan surat panggilan tersebut melaui Lurah/Kepala Desa, untuk disampaikan kepada Tergugat. Dalam hal ini, panggilan dianggap sah apabila Kepala Desa benar-benar menyerahkan panggilan kepada yang bersangkutan.

Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana jika Kepala Desa tidak segera atau sama sekali tidak menyerahkan panggilan kepada yang bersangkutan? Ya, sudah barang tentu akan merugikan pihak yang dipanggil. Namun demikian, demi menegakkan kepastian hukum dan tata tertib beracara, pengembalian penyampaian relaas panggilan ke pengadilan dianggap sebagai syarat formil atau bukti keabsahan penyampaian panggilan guna menghindari kerugian kepada pihak yang bersangkutan.

Tata Cara Pemanggilan Apabila Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui


Dalam kasus tertentu adakalanya pihak tergugat atau pihak yang hendak dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya. Ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertma bisa karena di dalam gugatan pihak penggugat menyebutkan secara tegas pada identitas Tergugat bahwa alamat atau tempat tinggal Tergugat tidak diketahui. Atau, di dalam gugatan Penggugat menyebutkan alamat Tergugat dengan jelas akan tetapi pada saat juru sita melakukan pemanggilan, ternyata Tergugat tidak ditemukan di tempat tersebut dan menurut penjelasan Kepala Desa yang bersangkutan sudah meninggalkan tempat itu tanpa menyebutkan alamat tinggal yang baru.

Mengantisipasi kasus seperti itu yang secara faktual tidak diketahui tempat tergugat di Indonesia maupun di luar negeri Pasal 390 ayat (3) HIR telah menentukan cara panggilan yang sah, yaitu: surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada kepada Bupati atau Walikota sesuai dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya. Bupati atau Walikota tersebut mengumumkan surat panggilan itu dengan cara menempelkannya pada pintu umum ruang sidang PN yang bersangkutan. Cara panggilan seperti ini dalam praktik sehari hari disebut panggilan umum atau pemberitahuan umum (general convocation). Akan tetapi, tata cara ini dianggap kurang realistis (unrealistic) karena pengumuman panggilan hanya ditempelkan di pintu ruang sidang pengadilan.

Agar cara pemanggilan dalam bentuk ini lebih objektif dan realistis, PN perlu memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan: selain ditempelkan di pintu ruang sidang, panggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum PN yang bersangkutan. Dengan cara ini jangkauan panggilan lebih luas dan efektif, kemungkinan diketahui oleh Tergugat jauh lebih besar.

Pemanggilan Tergugat Yang Berada Di Luar Negeri


Mengenai hal ini tidak diatur di dalam HIR dan RBG, akan tetapi dalam Pasal 6 ke-8 Rv diatur tentang pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia atau mereka yang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, yaitu dengan cara panggilan disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya. Selanjutnya JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya dan mengirimkan turunannya kepada pemerintah (Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.

Tempat Tinggalnya Di Luar Negeri Diketahui

Jika yang bersangkutan atau yang hendak dipanggil berada di luar negeri dan tempat tinggalnya diketahui, maka surat panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik, yaitu dengan dikirim melalui Departemen Luar Negeri, Kedutaan atau konsulat. Penyerahan panggilan langsung dilakukan oleh juri sita tanpa melalui JPU.

Tempat Tinggal Di Luar Negeri Tidak Diketahui

Apabila yang bersangkutan tempat tinggalnya di lua negeri tidak diketahui, maka tata cara Pemanggilan berpedoman pada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, yaitu disampaikan melalui panggilan umum.

Pemanggilan Terhadap Yang Sudah Meninggal


Tata cara pemanggilan terhadap Tergugat yang sudah meninggal dunia merujuk pada ketentuan Pasal 390 ayat (2) dan Pasal 7 Rv. Dalam ketentuan itu, pemanggilan dibedakan dalam situasi, yaitu apakah ahli warisnya dikenal atau tidak dikenal.

Ahli Waris Dikenal

Dalam hal ahli warisnya dikenal, maka panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu per satu. Dalam hal ini cukup disebut nama dan tempat tinggal pewaris yang meninggal dunia itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.

Ahli Waris Tidak Dikenal

Dalam hal ahli waris dari tergugat tidak dikenal, panggilan disampaikan melalui Kepala Desa mana almarhum terakhir tinggal. Selanjutnya Kepala Desa segera menyampaikan panggilan tersebut kepada ahli waris dari almarhum. 

Jika Kepala Desa tidak mengetahui ahli waris dari almarhum, panggilan dapat dikembalikan kepada juru sita yang dilampiri dengan surat keterangan yang berisi keterangan bahwa ahli waris tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan dari Kepala Desa itu, juru sita dapat melakukan Pemanggilan umum.

  • M. Yahya Harahap, Hukum Acara Peradilan Indonesia, Zakir, Medan, 1977, hal. 15
  • M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
  • Subakti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, hal. 45
  • Lihat HIR
  • Lihat RBG
  • Lihat Rv.

0 komentar: