Di bulan Juli 2017, Pemerintah Kota Depok menetapkan upah minimum khusus (UMK) buruh garmen sebesar Rp 1,4 juta per bulan. Angka ini ditetapkan dalam rapat yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wali Kota dan Bupati di Jawa Barat, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta perwakilan serikat pekerja.
Sebelumnya, pengusaha garmen di Jawa Barat mengeluhkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang berlaku sama rata di semua sektor. Pada Mei 2017, pengusaha garmen dari Bogor, Bekasi, Depok, dan Purwakarta melalui Apindo meminta Gubernur menetapkan UMK untuk buruh garmen, karena apabila mengikuti UMP, pengusaha tidak sanggup membayar dan akan gulung tikar.
JANGAN LEWATKAN:
Permasalahan Buruh Perempuan Di Tempat Kerja
Buruh Migran Indonesia Sektor Domestik Rentan Sangat Dengan Pelanggaran
Selain dari pada argumentasi diatas, argumentasi lainnya yang diajukan oleh Para Pengusaha (Apindo) untuk kemudian pemerintah menetapkan UMK khusus untuk buruh di sektor garmen adalah bahwa sejak tahun 2015, banyak pabrik dari sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) gulung tikar karena rupiah melemah, malah dibarengi dengan kenaikan UMP terus-menerus. Buruh yang di-PHK mencapai 30.000 orang. Pabrik garmen di Bogor pun nyaris bangkrut namun bertahan dengan utang mencapai Rp 15 miliar.
Persaingan industri ini juga semakin ketat, terutama dengan pesaing terberat adalah Vietnam. Pada tahun 2000, Indonesia berada di peringkat 6 industri TPT dunia, sementara Vietnam menduduki posisi 82. Hari ini, Vietnam sudah berdiri di posisi 1 Asia, mengalahkan Kamboja dan Cina.
Krisis dalam bisnis garmen dapat menjadi masalah serius bagi negara. Hingga tahun 2015, jumlah buruh yang diserap sektor TPT mencapai 1,6 juta orang dan 600 ribu di antaranya ada di pabrik garmen. Apabila perusahaan tidak dapat kesempatan bernapas dan terus dicekik kenaikan upah buruh setiap tahunnya, PHK akan terus terjadi. Dari puluhan ribu orang bukan tidak mungkin mencapai ratusan ribu orang. Buruh tidak peduli dengan situasi bisnis yang dihadapi perusahaan dan tidak memikirkan upah mereka datang darimana.
Sebelumnya, pengusaha garmen di Jawa Barat mengeluhkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang berlaku sama rata di semua sektor. Pada Mei 2017, pengusaha garmen dari Bogor, Bekasi, Depok, dan Purwakarta melalui Apindo meminta Gubernur menetapkan UMK untuk buruh garmen, karena apabila mengikuti UMP, pengusaha tidak sanggup membayar dan akan gulung tikar.
JANGAN LEWATKAN:
Permasalahan Buruh Perempuan Di Tempat Kerja
Buruh Migran Indonesia Sektor Domestik Rentan Sangat Dengan Pelanggaran
Selain dari pada argumentasi diatas, argumentasi lainnya yang diajukan oleh Para Pengusaha (Apindo) untuk kemudian pemerintah menetapkan UMK khusus untuk buruh di sektor garmen adalah bahwa sejak tahun 2015, banyak pabrik dari sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) gulung tikar karena rupiah melemah, malah dibarengi dengan kenaikan UMP terus-menerus. Buruh yang di-PHK mencapai 30.000 orang. Pabrik garmen di Bogor pun nyaris bangkrut namun bertahan dengan utang mencapai Rp 15 miliar.
Persaingan industri ini juga semakin ketat, terutama dengan pesaing terberat adalah Vietnam. Pada tahun 2000, Indonesia berada di peringkat 6 industri TPT dunia, sementara Vietnam menduduki posisi 82. Hari ini, Vietnam sudah berdiri di posisi 1 Asia, mengalahkan Kamboja dan Cina.
Krisis dalam bisnis garmen dapat menjadi masalah serius bagi negara. Hingga tahun 2015, jumlah buruh yang diserap sektor TPT mencapai 1,6 juta orang dan 600 ribu di antaranya ada di pabrik garmen. Apabila perusahaan tidak dapat kesempatan bernapas dan terus dicekik kenaikan upah buruh setiap tahunnya, PHK akan terus terjadi. Dari puluhan ribu orang bukan tidak mungkin mencapai ratusan ribu orang. Buruh tidak peduli dengan situasi bisnis yang dihadapi perusahaan dan tidak memikirkan upah mereka datang darimana.
Wajarkah argumentasi tersebut diatas yang kemudian menghasilkan upah murah, tentu jawabannya adalah sangat wajar sekali. Sehingga kemudian buruh yang sangat pantas dan layak untuk dijadikan korban (tumbal) dari persaingan bisnis (pertarungan antar kapitalis) dan terjadinya krisis kapitalisme itu sendiri (kelebihan hasil produksi). Lahirnya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, sesunguhnya menjadi tolak ukur bagi pengusaha untuk melihat dan mengetahui seberapa besar keberpihakan pemerintah yang baru terhadap kaum buruh atau kepada pengusaha. Dan ternyata secara jelas dan tegas bahwa keberpihakan tersebut sepenuhnya berada pada sisi pengusaha (pemodal), hal tersebutlah yang kemudian dijadikan peluang bagi penguaha (apindo) untuk lebih lagi dalam melakukan penetrasi (tekanan) agar kemudian upah buruh tidak besar kenaikannya dan bila perlu diturunkan yang pada akhirnya berhasil dengan adanya pula dukungan dari serikat buruh (entah serikat buruh yang mana?).
Lalu pertanyaanya adalah mengapa khusus hanya pada sektor TPT (garmen) saja yang ditetapkan/diputuskan demikian upahnya di Jawa Barat, tentu pengusaha memiliki pertimbangan yang cukup matang mengapa pada saat ini dipilih hanya khusus pada sektor TPT dan beberapa kota tersebut. Besar kemungkinan bahwa analisa mereka (pengusaha) yang mudah saat ini untuk lebih dulu dilaksanakan adalah pada sektor garmen dan uji cobanya adalah wilayah Jawa Barat, karena mayoritas dihuni oleh buruh perempuan yang dinilai tidak akan memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan menolak kebijakan upah khusus tersebut secara massal. Mereka pun (pengusaha) tentunya memiliki dasar atau ukuran untuk itu, salah satunya adalah tidak adanya perlawanan yang massal dan masif ketika pemerintahan SBY menerbitkan kebijakan upah khusus sektor garmen yang nilainya pun dibawah UMK. Artinya bahwa, tidak menutup kemungkinan pemberlakuan khusus tersebut akan terjadi pula di kota-kota lainnya.
Dalam hal ini penulis tidak akan menyinggung mengenai ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik ini, karena bagi penulis bahwa ketentuan hukum (perundang-undangan) bisa menguatkan namun juga bisa melemahkan. Namun menyinggung pada persoalan diatas, jelas dan tegas buruh perempuan menjadi objek utama penindasan dan kelemahan serikat buruh (baik pada level pabrik maupun nasional) yang belum mampu membendung kebijakan dari pengusaha melalui pemerintah, serta ada pula keterlibatan serikat buruh oportunis yang memberikan sumbangsih kepada pemerintah untuk lebih giat-cepat membuat regulasi/kebijakan yang pro kepada pemilik modal.
Lantas hal apa yang bisa dilakukan oleh buruh dan serikat buruh untuk membendung lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro pada pemilik modal, jawabannya banyak hal yang bisa dilakukan selain dari pada melakukan perlawanan melalui jalur-jalur hukum yang tersedia. Yaitu dengan cara proses penyadaran-penyadaran kepada buruh secara masif dan intensif, pergorganisiran dan pengorganisasian, yang itu semua dilakukan oleh secara bersama-sama (kolektif), baik itu pengurus serikat buruh maupun oleh anggota-anggota yang aktif. (Sodik)
Lalu pertanyaanya adalah mengapa khusus hanya pada sektor TPT (garmen) saja yang ditetapkan/diputuskan demikian upahnya di Jawa Barat, tentu pengusaha memiliki pertimbangan yang cukup matang mengapa pada saat ini dipilih hanya khusus pada sektor TPT dan beberapa kota tersebut. Besar kemungkinan bahwa analisa mereka (pengusaha) yang mudah saat ini untuk lebih dulu dilaksanakan adalah pada sektor garmen dan uji cobanya adalah wilayah Jawa Barat, karena mayoritas dihuni oleh buruh perempuan yang dinilai tidak akan memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan menolak kebijakan upah khusus tersebut secara massal. Mereka pun (pengusaha) tentunya memiliki dasar atau ukuran untuk itu, salah satunya adalah tidak adanya perlawanan yang massal dan masif ketika pemerintahan SBY menerbitkan kebijakan upah khusus sektor garmen yang nilainya pun dibawah UMK. Artinya bahwa, tidak menutup kemungkinan pemberlakuan khusus tersebut akan terjadi pula di kota-kota lainnya.
Dalam hal ini penulis tidak akan menyinggung mengenai ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik ini, karena bagi penulis bahwa ketentuan hukum (perundang-undangan) bisa menguatkan namun juga bisa melemahkan. Namun menyinggung pada persoalan diatas, jelas dan tegas buruh perempuan menjadi objek utama penindasan dan kelemahan serikat buruh (baik pada level pabrik maupun nasional) yang belum mampu membendung kebijakan dari pengusaha melalui pemerintah, serta ada pula keterlibatan serikat buruh oportunis yang memberikan sumbangsih kepada pemerintah untuk lebih giat-cepat membuat regulasi/kebijakan yang pro kepada pemilik modal.
Lantas hal apa yang bisa dilakukan oleh buruh dan serikat buruh untuk membendung lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro pada pemilik modal, jawabannya banyak hal yang bisa dilakukan selain dari pada melakukan perlawanan melalui jalur-jalur hukum yang tersedia. Yaitu dengan cara proses penyadaran-penyadaran kepada buruh secara masif dan intensif, pergorganisiran dan pengorganisasian, yang itu semua dilakukan oleh secara bersama-sama (kolektif), baik itu pengurus serikat buruh maupun oleh anggota-anggota yang aktif. (Sodik)
0 komentar:
Post a Comment