Jumlah buruh perempuan di Indonesia semakin lama semakin mengalami peningkatan yang pesat. Biasanya mereka bekerja pada pabrik rokok, tekstil, garmen, pabrik sepatu dsb dengan posisi yang dianggap pantas dilakukan perempuan.
Berbagai permasalahan mengenai buruh perempuanpun muncul. buruh perempuan ketika bekerja wajib memenuhi target produksi tertentu. Mereka tidak memperoleh “insentif”. Apalagi buruh yang tidak berhasil memenuhi target produksi. Buruh yang gagal memenuhi target produksi yang ditentukan perusahaan biasanya akan dihardik atau dihukum. Sementara buruh yang berhasil memenuhi target tidak memperoleh penghargaan atau imbalan sama sekali. Itu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi dalam perusahaan. Pola tersebut seolah menjadi sebuah kebiasaan yang terus-menerus berulang pada buruh perempuan. Posisi buruh yang secara individual lemah terpaksa membiasakan diri untuk mengerjakan tugas itu.
Dalam situasi semacam itu buruh perempuan tentu membutuhkan bantuan sebuah organisasi buruh yang kuat dan berpihak kepada kepentingan pekerja sehingga tercipta hubungan industrial yang lebih adil. Kerentanan buruh perempuan terhadap eksploitasi merupakan problem dari dulu dalam hubungan industrial. Di sisi lain, serikat buruh nyaris tidak befungsi dalam memperjuangkan kepentingan buruh perempuan. Akibatnya meluas pada aspek-aspek lain non-ekonomi yang merendahkan harkat buruh perempuan. Lemahnya pengaruh serikat buruh dalam berhadapan dengan perusahaan juga mengondisikan bentuk diskriminasi lainnya. Misalnya, sebagian besar fasilitas untuk buruh perempuan yang berada di bawah standar. Kondisi kamar mandi dan toilet buruh (perempuan) jauh lebih buruk dan kotor dibanding fasilitas serupa untuk atasan atau orang manajemen perusahaan.
Pengurus serikat buruh ditingkat perusahaan yang didominasi kaum lelaki kerap mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan dan memerhatikan posisi buruh perempuan. Umpamanya rapat-rapat dan pertemuan diskusi atau pendidikan serikat yang sering diselenggarakan pada malam hari. Hal tersebut tentu menyulitkan sebagian anggotanya, terutama buruh perempuan yang telah berkeluarga. Otomatis mereka akan kehilangan akses, kontrol, dan pengaruh. Representasi buruh perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut menjadi rendah dan kebutuhan perempuan yang perlu diperjuangkan pun sering dilupakan. Belum lagi peran ganda dan nilai-nilai sosial yang “menabukan” perempuan keluar malam hari. Itu merupakan kendala bagi buruh perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan organisasi serikat. Bahkan tidak jarang peran ganda dianggap memicu keretakan dalam rumah tangga saat perempuan harus meninggalkan kerja domestik untuk mengikuti pertemuan organisasi pada malam hari. Kita harus bisa memecahkan kendala dari buruh perempuan. Organisasi kita harus luwes agar buruh perempuan bisa dilibatkan secara massif.
JANGAN LEWATKAN:
Buruh Migran Indonesia Sektor Domestik Rentan Sangat Dengan Pelanggaran
Buruh Garmen: Anak Tiri Bangsa Ini
Dibawah ini adalah permasalahan yang sering terjadi pada kondisi dimana buruh perempuan menjadi mayoritas didalam pabrik mereka bekerja. Biasanya yang berjuamlah di atas lima ratus orang hingga belasan ribu buruh perempuan.
Pengurus serikat buruh ditingkat perusahaan yang didominasi kaum lelaki kerap mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan dan memerhatikan posisi buruh perempuan. Umpamanya rapat-rapat dan pertemuan diskusi atau pendidikan serikat yang sering diselenggarakan pada malam hari. Hal tersebut tentu menyulitkan sebagian anggotanya, terutama buruh perempuan yang telah berkeluarga. Otomatis mereka akan kehilangan akses, kontrol, dan pengaruh. Representasi buruh perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut menjadi rendah dan kebutuhan perempuan yang perlu diperjuangkan pun sering dilupakan. Belum lagi peran ganda dan nilai-nilai sosial yang “menabukan” perempuan keluar malam hari. Itu merupakan kendala bagi buruh perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan organisasi serikat. Bahkan tidak jarang peran ganda dianggap memicu keretakan dalam rumah tangga saat perempuan harus meninggalkan kerja domestik untuk mengikuti pertemuan organisasi pada malam hari. Kita harus bisa memecahkan kendala dari buruh perempuan. Organisasi kita harus luwes agar buruh perempuan bisa dilibatkan secara massif.
JANGAN LEWATKAN:
Buruh Migran Indonesia Sektor Domestik Rentan Sangat Dengan Pelanggaran
Buruh Garmen: Anak Tiri Bangsa Ini
Dibawah ini adalah permasalahan yang sering terjadi pada kondisi dimana buruh perempuan menjadi mayoritas didalam pabrik mereka bekerja. Biasanya yang berjuamlah di atas lima ratus orang hingga belasan ribu buruh perempuan.
Masalah Buruh Perempuan:
KASUS | MASALAH |
Lingkungan Kerja |
|
Hak Buruh Dan Hak Berorganisasi |
|
Upah Lembur Dan Kerja Lembur |
|
Kesehatan Reproduksi dan Pelecehan Seksual |
|
Organisasi kita sudah memiliki departen khusus buruh perempuan tentu itu adalah satu langkah baik. Kekurangan dari aktifitas buruh perempuan tentu masih banyak sekali. Tetapi bukan berarti kekurangan tersebut menjadi pembenaran bahwa kita belum mampu maksimal melakukan perjuang bagi buruh perempuan. Saya berharap kita bisa menemukan metode yang cukup baik bagi perbaikan kondisi buruh perempuan di Indonesia khususnya anggota organisasi kita. Harapannya jika permasalahan buruh perempuan sering dimenangkan ditempat kerja maka akan menimbulkan antusiame dari buruh perempuan itu sendiri. Dan organisa bisa secara luwes melibatkan buruh perempuan karena permasalahan di luar tempat kerja pun masih banyak yang membuat buruh perempuan sulit terlibat aktif. Mendiskusikan masalah buruh permpuan di tempat kerja dan memenangkan permasalahan secara terus menerus semoga menjadi prioritas kawan kawan pengurus ditempat kerja yang menjadi bagian dari keluarga besar Konfederasi KASBI.
Salam muda berani militan!
Oleh: Annah dianah
Kordinator Departemen Perjuangan Buruh Perempuan
Konfederasi KASBI
Kordinator Departemen Perjuangan Buruh Perempuan
Konfederasi KASBI
0 komentar:
Post a Comment