Dasar Hukum Pengakuan Sebagai Alat Bukti Yang Sah

Sunday 19 August 2018

Dasar Hukum Pengakuan Sebagai Alat Bukti Yang Sah



Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR meletakkan “pengakuan” pada urutan keempat. Kalau mengenai tulisan dan saksi terdapat perkataan “bukti” di depannya (bukti tulisan atau bukti dengan saksi), tentang pengakuan tidak ada perkataan itu. Namun demikian, Pasal 1866 KUHPerdata maupun Pasal 164 HIR dengan tegas menyebutnya sebagai alat bukti.

A. Aturan Dan Dasar Hukum Pengakuan


Sumber hukum positif “persangkaan” sebagai alat bukti dikemukakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Sama-sama dapat dijadikan pedoman sesuai lingkup yuridiksi masing-masing. Diatur dalam Pasal 174-176 HIR sebagai ketentuan alat bukti persangkaan untuk Pengadilan Jawa – Madura, dalam Pasal 311-313 RBG untuk Pengadilan luar Jawa – Madura (tanah seberang). Selain itu, Pasal 192-1928 KUHPerdata, dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi seluruh pengadilan yang ada di lingkungan Indonesia tanpa membedakan Jawa-Madura dan Tanah Seberang, guna melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam HIR dan RBG.

Dapat dilihat bahwa pengaturan tentang pengakuan dalam HIR maupun RBG hanya terdiri dari tiga pasal. Sedangkan KUHPerdata mengatur tentang pengakuan dalam enam pasal. Sehubungan dengan itu, tanpa mengurangi hal-hal yang telah diatur dalam HIR dan RBG, pembahasan dalam penulisan ini merujuk pada pasal-pasal yang diatur dalam KUHPerdata. Tujuannya adalah agar ruang lingkup pembahasannya lebih lengkap.
Pengertian Pengakuan

JANGAN LEWATKAN: Syarat Formil Dan Nilai kekuatan Pembuktian Pengakuan

Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut Pasal 1923 KUHPerdata dan Pasal 174 HIR adalah:

  • Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara;
  • Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan;
  • Keterangan itu merupakan pengakuan (bekentenis, confession), bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.
Apabila pengakuan yang dikemukakan hanya untuk sebagian, dalam teori dan praktik disebut sebagai “pernyataan campuran” atau “mixed statement”, yang berarti mengakui satu atau beberapa elemen tertentu dalam sengketa (gugatan), tetapi menyangkal (deny) elemen sengketa (gugatan) selebihnya.

Ditinjau dari segi hukum pembuktian, pengakuan merupakan lawan dari penyangkalan atau bantahan. Pihak Tergugat menyangkal apa yang didalilkan oleh Penggugat, atau sebaliknya Penggugat membantah hal-hal yang didalilkan oleh Tergugat. Terjadinya hal seperti itu dengan sendirinya membawa suasana proses pemeriksaan ke arah pembenaran wajib bukti untuk membuktikan dalil yang dibantah masing-masing pihak.

a.    Pengakuan Bukan Alat Bukti


Menurut sifat dan bentuknya, kurang tepat memasukkan pengakuan sebagai alat bukti. Alasan yang umum dikemukakan antara lain:

  • Alat bukti adalah alat yang mampu dipergunakan untuk membuktikan pokok perkara yang dusengketakan sedangkan pengakuan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan pokok perkara karena pengakuan tidak memiliki fisik yang dapat diajukan dalam persidangan.
  • Apabila salah satu pihak mengakui apa yang diajukan atau didalilkan pihak lawan, hakim tidak dibenarkan lagi untuk memberi pendapat tentang masalah atau objek pengakuan, sehingga hakim tidak boleh lagi menyelidiki kebenaran pengakuan itu. Hal itu dikarenakan dengan pengakuan, para pihak yang bersengketa telah menentukan sendiri penyelesaian sengketa.
  • Dengan demikian, hakim mesti terikat atau sudah terikat menyelesaikan sengketa sesuai dan bertitik tolak dari pengakuan tersebut.
Alasan di atas sesuai dengan prinsip bahwa dalam perkara perdata, tujuan utama bukan mencari kebenaran materil sebagaimana halnya dalam perkara pidana, tetapi fungsi hakim terbatas mencari kebenaran formil, yaitu kebenaran tentang hal-hal yang diminta para pihak kepadanya.

Itulah sebabnya, apabila ada pengakuan yang diberikan salah satu pihak tentang apa yang didalilkan, berarti para pihak telah menyingkirkan hal yang diakui dari pemeriksaan dan pendapat hakim. Berarti sepanjang yang diakui, tidak perlu alat bukti, tetapi merupakan suatu keadaan yang membebaskan dari pembuktian tentang hal-hal atau dalil yang diakui.

b.    Setiap Pengakuan Dianggap Benar

Pengakuan yang diberikan dengan sukarela (voluntary) bukan dengan paksaan baik secara fisik maupun psikis harus dianggap selamanya benar. Tidak menjadi masalah apakah pengakuan itu mengandung kebohongan, hakim mesti menerima dan menilainya sebagai pengakuan yang berisi kebenaran. Yang paling berhak dan berkepentingan atas tindakan itu adalah pihak yang memberikan pengakuan, bukan hakim. Karena itu, apabila dia memberi pengakuan yang mengandung kebohongan berarti yang bersangkutan telah dengan seksama memperhitungkan segala akibat dan resiko yang timbul dari pengakuan itu.

Dengan demikian, jika pengakuan yang berisi kebohongan itu dikehendaki pihak yang bersangkutan, kebohongan itu menjadi hal yang dianggap benar. Oleh karena demikian, terhadap kebohongan tersebut pun hakim terikat dan harus menerimanya, sebab dengan pengakuan itu, para pihak membatasi kewenangan hakim untuk memeriksa perkara tersebut.

Dalam hal tertentu secara kasuistik hakim berwenang menilai apakah pengakuan itu benar atau bohong. Ambil contoh Putusan MA No. 188 K/Sip/1973 antara lain dipertimbangkan bahwa berdasarkan yurisprudensi tetap tentang hukum pembuktian, khususnya mengenai pengakuan, hakim berwenang menilai apakah pengakuan yang diberikan tidak benar. Menurut penilaian pengadilan, pengakuan Tergugat I, memihak kepada Penggugat, sebab pengakuan itu diberikan tanpa alasan yang kuat (niet redenen omkleed). Oleh karena itu, pengakuan Tergugat I yang seperti itu “tidak dapat dipercaya” (unreliable). Penerapan yang dikemukakan dalam putusan ini bersifat kasuistik. Namun secara normal dan konvensional, hakim harus menerima setiap pengakuan meskipun mengandung kebohongan.

B. Hal-Hal Yang Dapat Diakui


Secara umum, para pihak dapat mengakui segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan Penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala dalil bantahan Tergugat. Misalnya, tergugat secara tegas dapat mengakui seluruh isi gugatan tanpa terkecuali. Namun secara teknis dikenal pengakuan yang lebih spesifik, yang terdiri dari hal berikut:

-    Pengakuan Yang Berkenaan Dengan Hak

Misalnya Penggugat menadilikan bahwa tanah yang dikuasai Terguat adalah hak milik Penggugat, dan objek itu berada di tangan Tergugat, karena dipinjamkan. Dalam kasus ini, Tergugat dapat mengakui hak milik yang didalilkan Penggugat tersebut. Seperti dalam putusan MA No. 40.69 K/Pdt/1985, Tergugat mengakui dalil gugatan tentang utangnya kepada Penggugat, tetapi jumlahnya tidak sebesar yang disebutkan dalam gugatan. Terhadap putusan itu MA berpendapat, Tergugat telah mengakui hak Penggugat atas utang Tergugat tersebut. Namun oleh karena Penggugat tidak mengajukan bukti untuk membuktikan jumlah utang yang didalilkannya, jumlah utang yang dianggap terbukti untuk dikabulkan, hanya sebesar jumlah yang diakui oleh Tergugat.

-    Pengakuan Mengenai Fakta

Pengakuan lain yang lebih spesifik adalah tentang “fakta”. Para pihak secara tegas mengakui fakta yang dikemukakan pihak lawan. Misalnya dalam putusan MA No. 3459 K/Pdt/1984, mengenai perkara utang-piutang. Untuk membuktikan dalil gugatan, Penggugat mengajukan asurat bukti P1 (perjanjian utang-piutang), dan Terguat mengakui surat bukti tersebut. Berarti Tergugat memberi pengakuan atas fakta perjanjian pinjaman utang yang didalilkan Penggugat. Berdasarkan pengakuan fakta itu MA berpendapat, oleh karena tergugat mengakui bukti P1 maka surat bukti itu sah dan berharga untuk dijadikan pegangan menentukan besarnya jumlah utang tergugat pada Penggugat.

C. Yang Berwenang Memberi Pengakuan


Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1925 KUH Perdata, yang menjelaskan siapa saja yang berwenang memberi pengakuan.
Dilakukan Oleh Principal Sendiri

Yang paling berwenang memberi atau melakukan pengakuan adalah principal atau pihak materil sendiri, yaitu yang langsung bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat. Dalam Pasal 1925 KUH Perdata disebut “dilakukan sendiri” atau menurut versi Pasal 174 HIR disebutkan “diucapkan” sendiri oleh principal. Cara ini yang terbaik karena dilakukan sendiri oleh pihak yang paling berkepentingan atas pengakuan, dan pada dasarnya dia paling mengetahui batas-batas yang dapat atau tidak dapat diakui.
Dengan Perantara Kuasa

Selain principal sendiri, Pasal 1925 KUH Perdata, Pasal 174 HIR memberi wewenang juga kepada kuasa untuk melakukan atau mengucapkan pengakuan. Kalau begitu, sahnya pengakuan tidak disyaratkan mesti dilakukan atau diucapkan oleh pihak materil, tetapi dapat juga dilakukan oleh kuasa dalam kedudukannya sebagai pihak formil. Hal itu secara tegas tersurat dalam Pasal tersebut pada kalimat: “maupun dengan perantara seorang kuasa yang khusus dikuasakan untuk itu”. Dasar landasan kewenangan kuasa melakukan atau mengucapkan pengakuan dapat dilakukan dengan Surat Kuasa Istimewa atau Surat Kuasa Khusus

D. Bentuk Dan Cara Melakukan Pengakuan


Berdasarkna pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUHPer, dapat dijelaskan hal-hal berikut ini:

Bentuk Penyampaian Pengakuan


Bentuk Lisan: Jika dilakukan dengan lisan, hal itu dicatat secara khusus di dalam berita acara sidang, dan pihak yang menyampaikan pengakuan menyebutkan dengan jelas hal-hal apa saja yang diakui.

Bentuk Tulisan: Pengakuan yang berbentuk tulisan, tidak dimaksudkan meski dibuat khusus dalam surat tertentu.Dapat dikemukakan sebagai bagian yang tidak terpisah dalam jawaban, replik, atau duplik, maupun dalam kesimpulan

Cara Melakukan Pengakuan


Terdapat beberapa cara yang dianggap identik sebagai pengakuan, sebagai berikut:

  • Dilakukan dengan tegas (expressis verbis)
  • Dilakukan dengan diam-diam, dalam arti tidak mengajukan bantahan atau sangkalan
  • Mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas
BACA JUGA:

Salinan Sebagai Alat Bukti Serta Kekuatan Pembuktiannya 
Salinan Dan Fotokopi - Dua Alat Bukti Yang Berbeda Menurut Hukum, Kuat Mana?
Mengetahui Sumpah Konfirmator Dan Sumpah Promisor Dalam Hukum Acara Perdata
______________________
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg)
Putusan MA No. 3459 K/Pdt/1984
Putusan MA No. 188 K/Sip/1973
Putusan MA No. 40.69 K/Pdt/1985

0 komentar: