Pengantar
"Kesadaran" telah menjadi kosa kata yang sering kali mewarnai perdebatan dalam organisasi gerakan hari ini. Di forum rapat serikat buruh misalnya, terkadang kita menemukan seorang pengurus mengeluhkan masalah kurangnya kesadaran anggota tentang serikat buruh, sehingga partisipasi anggota dalam aktivitas organisasi serikat buruh menjadi sedikit sekali.
Bahkan sebagian kawan sering melimpahkan semua masalah organisasi di pundak anggota. Pendidikan tidak berjalan, alasannya anggota belum sadar. Rapat tidak berjalan, alasannya anggota belum sadar. Pengorganisiran tidak berjalan, alasan nya buruhnya belum pada sadar. Jadi semua masalah organisasi jadi kesalahan nya Pak Sadar.
Mungkin saja, ketika di lapangan kita sering keheranan, dan merasa putus-asa karena seruan seruan kita tidak didengar oleh massa yang menjadi sasaran agitasi, bahkan anggota sekalipun. Bolak-balik, kolektif kita mengadakan evaluasi atas teknik yang digunakan, isi agitasi ataupun tingkat kesadaran massa. Namun, tetap saja bertumbukan dengan tembok baja kebebalan dominasi pemikiran massa yang telah terdoktrin oleh lingkungan sosial dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya kita mengambil kesimpulan yang keliru, bahwa memang massa berkesadaran terbelakang.
Satu yang tidak dapat dipungkiri bahwa kesadaran buruh tidak dapat dipisahkan dari cara pandang atas persoalan sosial tertentu yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Itu sebabnya kesadaran disebut sebagai Produk Sosial.
Download Perppu Ormas Terbaru DISINI
Proses Pembentukan Kesadaran
Setiap orang memiliki tolok-ukur mengenai apa yang dianggapnya baik dan sudah seharusnya ataupun buruk dan tidak seharusnya. Setiap saat, setiap detik dari hidup seorang manusia, ia membuat pilihan-pilihan yang didasarkan pada perbandingan antara berbagai hal, terutama dengan tolok ukur ini.
Ada berbagai sebutan mengenai tolok ukur ini: nilai, norma, ideologi, dsb. Namun, secara umum, tolok ukur ini dapat dirangkum menjadi satu himpunan saja, apa yang disebut cara pandang atas dunia. Cara pandang atas dunia inilah yang dipakai tiap orang untuk mengambil keputusan, dari mulai apakah dia akan ngebut di jalan, apakah dia akan membuang sampah sembarangan, apakah dia akan datang ke pertemuan dengan tepat waktu, sampai pada apakah ia akan bergabung dengan organisasi atau partai politik tertentu.
Namun tidak ada orang yang dilahirkan dengan cara pandang atas dunia dipatri ke dalam kepalanya. Bahkan, seorang bayi yang baru lahir dapat dibilang hampir buta dan tidak dapat membedakan bentuk. Itulah makanya bayi sangat senang kalau ada satu benda digoyang goyangkan di hadapannya, apakah itu kepala atau jari tangan atau mainan. Ini membantu mereka mengenali dunianya. Bahkan kita sering temukan bagaimana seorang bayi selalu berusaha memasukkan berbagai benda ke dalam mulutnya. Karena seorang bayi digerakkan oleh naluri bertahan hidup belaka, ia berusaha mengenali apa saja benda yang dapat dimakannya. Ia berusaha mengenali dunia berdasarkan kebutuhannya untuk makan.
Naluri untuk bertahan hidup inilah satu-satunya cara pandang atas dunia yang alamiah. Dan ini tidak membedakan manusia dari segala jenis hewan lainnya, yang juga digerakkan oleh naluri yang sama. Yang membedakan manusia dari dunia hewan adalah sistem sosialnya, yang mengandalkan pendidikan sebagai alat bertahan hidup. Melalui pendidikan-lah seorang bayi mendapatkan cara pandang yang lebih utuh atas dunianya.
Demikianlah seorang bayi mulai dilatih pelan-pelan untuk berpandangan bahwa penggunaan tangan kanan adalah elok sedangkan tangan kiri adalah untuk cebok; bahkan para pengguna tangan kiri mendapat sebutan lain kidal, yang mencerminkan pandangan bahwa pengguna tangan kanan itu normal sedangkan pengguna tangan kiri tidak normal. Jelas, kalau dilihat dari sudut pandang lain, ini adalah penghinaan buat mereka yang menggunakan tangan kiri.
Sistem pendidikan dalam masyarakatlah yang memaksakan pandangan ini pada seorang anak bahkan dari masa ia baru mulai mengenali dunianya. Semasa seseorang masih berada dalam tahap balita (pra-sekolah), keluargalah yang memasok kesadaran ke dalam pikirannya. Dari ayah dan ibunya ia mendapat cara pandang apa yang harus dipakainya untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.