Seketika saja undang-undang No. 2 Tahun 2004 (disingkat UU PPHI) tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi issu panas di kalangan Hubungan Industrial, terutama di kalangan Buruh. Tidak saja karena undang-undang ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Tahun 2015, tetapi pengalaman-pengalaman pahit yang pernah dialami dari sistem ini menjadi sorotan bagi Buruh. (Lacak perkembangan prolegnas prioritas 2015 )
Lahirnya undang-undang No. 2 Tahun 2004 tidak terlepas dari lahirnya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang yang sedianya mulai berlaku 14 Januari 2005 sempat tertunda setahun dan baru diresmikan pada tanggal 14 Januari 2006. berlaku efektif, Sejak UU No. 2 Tahun 2004 tidak sedikit menuai kritik dari kalangan Buruh. Terutama metode penyelesaian melalui proses peradilan umum yang memaksa Buruh tarung dengan pemilik modal serta proses yang cukup panjang dan mahal menutup ruang bagi Buruh untuk mendapatkan keadilan.
UU No. 13 Tahun 2003 dan undang-undang No. 2 Tahun 2004 sebagai buah kompromi Politik di parlemen sudah pasti juga sarat dengan kepentingan Politik. Lihat saja misalnya ruang lingkup perselisihan yang terdiri perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh. Maka jangan heran jika saat ini persoalan ketenagakerjaan yang terjadi semakin kompleks karena sejatinya kedua undang-undang inilah yang menginginkan hal itu terjadi.
Ada poin penting yang luput dari perhatian kaum Buruh selama ini yaitu masuknya “perselisihan hak” dalam ruang lingkup perselisihan hubungan industrial. Dalam pandangan penulis hal ini sengaja diciptakan sebagai restu bagi pengusaha untuk melanggar hak buruhnya. Menurut undang-undang No. 2 Tahun 2004 yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa Undang-undang tidak lagi memberikan kepastian bagi kaum Buruh karena apa yang diatur oleh undang-undang dapat diperselisihkan. Tak ada lagi supermasi Hukum. Tak ada lagi kehormatan hukum. Tak ubah hukum hanya barang yang dapat dipersengketakan.
Lahirnya undang-undang No. 2 Tahun 2004 tidak terlepas dari lahirnya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang yang sedianya mulai berlaku 14 Januari 2005 sempat tertunda setahun dan baru diresmikan pada tanggal 14 Januari 2006. berlaku efektif, Sejak UU No. 2 Tahun 2004 tidak sedikit menuai kritik dari kalangan Buruh. Terutama metode penyelesaian melalui proses peradilan umum yang memaksa Buruh tarung dengan pemilik modal serta proses yang cukup panjang dan mahal menutup ruang bagi Buruh untuk mendapatkan keadilan.
UU No. 13 Tahun 2003 dan undang-undang No. 2 Tahun 2004 sebagai buah kompromi Politik di parlemen sudah pasti juga sarat dengan kepentingan Politik. Lihat saja misalnya ruang lingkup perselisihan yang terdiri perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh. Maka jangan heran jika saat ini persoalan ketenagakerjaan yang terjadi semakin kompleks karena sejatinya kedua undang-undang inilah yang menginginkan hal itu terjadi.
Ada poin penting yang luput dari perhatian kaum Buruh selama ini yaitu masuknya “perselisihan hak” dalam ruang lingkup perselisihan hubungan industrial. Dalam pandangan penulis hal ini sengaja diciptakan sebagai restu bagi pengusaha untuk melanggar hak buruhnya. Menurut undang-undang No. 2 Tahun 2004 yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa Undang-undang tidak lagi memberikan kepastian bagi kaum Buruh karena apa yang diatur oleh undang-undang dapat diperselisihkan. Tak ada lagi supermasi Hukum. Tak ada lagi kehormatan hukum. Tak ubah hukum hanya barang yang dapat dipersengketakan.
Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya sudah mengatur dengan jelas dan tegas mengenai hak normatif bagi Buruh, seperti Upah, jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja, lembur, istrahat dan cuti, kebebasan berserikat, mogok kerja, tunjangan hari raya dan lain sebagainya. Namun Mekanisme “PERSELISIHAN telah menyandera seluruh hak yang sangat hakiki. Salah satu contoh misalnya, Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 185 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 memberi penegasan bahwa membayar Upah lebih rendah dari ketentuan pemerintah sebagaimana ketentuan Pasal 90 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 adalah merupakan tindak pidana kejahatan dan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Meskipun demikian, pengusaha tidak habis akal untuk menghindari hukum dengan cara meligitimasi mekanisme perselisihan yang sudah disediakan oleh Negara. Baca juga: Sisi Positif Kenaikan Upah
Secara garis besar, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dititikberatkan pada musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak mengahasilkan kesepakatan penyelesaian maka pengusaha dan buruh atau serikat buruh harus menyelesaikan perselisihannya melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. Tentu prosedur yang diatur Undang-undang yang dimaksud di sini adalah prosedur yang diatur dalam undang-undang No. 2 Tahun 2004, yaitu penyelesaian meliputi perundingan bipartit, penyelesaian melalui mediasi/arbitrase/konsilisasi, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan kasasi.
Dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, musyawarah seringkali disisati sebagai metode kompromi paling jitu untuk melakukan pelanggaran hukum secara berjamaah. Contoh, ketika pengusaha membayar Upah buruhnya di bawah ketentuan, hal tersebut jelas merupakan tindakan pelanggaran hukum dan merupakan tindak pidana. Ketika persoalan ini dimusyawarahkan oleh pengusaha dan Buruh atau serikat buruh dalam perundingan bipartit, proses tawar menawar tidak terelakan. Dalam hal ini buruh tidak mungkin meminta Upah lebih dari ketentuan. Sebaliknya, pengusaha memaksa buruhnya suapaya bersedia upahnya dibayar sedikit lebih rendah dari ketentuan.
Dari tawar-menawar tersebut ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, buruh menerima permintaan pengusaha. Inilah bukti telah terjadi kompromi untuk melanggar hukum secara bersama-sama. Tentu tidak begitu saja Buruh mengamini dengan ikhlas kehendak pengusaha, tetapi posisi buruh yang sangat rentan ancaman dan tindakan balasan bila tidak menuruti kehendak pengusaha. Kedua, Buruh menolak kompromi dengan pengusaha dan tetap ingin menegakkan hukum. Konsekuensinya adalah, pengusaha akan mencari cara untuk mem-PHK Buruh yang bersangkutan. Atau perundingan dinyatakan gagal dan ditempuh penyelesaiannya ke tingkat lebih lanjut.
Dalam kondisi ini, Buruh sudah mulai masuk jurang kekelaman. Diputus hubungan kerjanya karena menuntut haknya yang sudah diatur oleh undang-undang. Segera saja penganguran terjadi. Segera saja babak kemiskinan mulai terjadi. Namun lagi-lagi, tindakan PHK sepihak yang dilakukan oleh pengusaha bukanlah sesuatu yang haram di mata Negara. Bagaimana tidak? Mekanisme “Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja” telah melegalkan tindakan pengusaha tersebut. (Irman Bunawolo)
0 komentar:
Post a Comment