Buruh dan Masa Depan Bangsa

Thursday 22 January 2015

Buruh dan Masa Depan Bangsa

Buruh dan Masa Depan Bangsa
Ribuan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Buruh Tangerang Bergerak melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Banten menuntut revisi UMK se-provinsi Banten. Massa bertahan hingga malam hari dan membubarkan diri pukul 20.00 Wib
Ironi terbesar di negeri ini adalah nasib dan posisi kaum pekerja. Merupakan faktor terpenting dalam proses produksi, namun imbalan yang buruh terima jauh dari kesetaraan. Upah buruh yang selama ini dianalisasi melalui penerapan upah minimum kota/kabupaten (UMK) sangat tak terbayangkan bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Apalagi pada saat-saat sekarang dimana harga kebutuhan pokok merangkak naik.

Padahal, bayangkanlah kehidupan tanpa buruh dan hasil jerih payahnya! Segala sesuatu yang kita nikmati, dikonsumsi, maupun penggunaan fasilitas tertentu, selalu melibatkan peran buruh di dalamnya. Bukan saja peran yang komplementar sifatnya, namun sebagai penentu dan penyebab utama hadirnya barang-barang kebutuhan di hadapan siapapun. Karena tak ada barang produksi tanpa adanya orang yang mengerjakannya (baca: buruh).

Posisi buruh yang penting di satu sisi dan pendapatan upah mereka di sisi yang lain, bisa dikatakan sebagai potret ketidakadilan. Jika dibandingkan sejumlah profesi lain (bahkan buruh tak dapat digolongkan sebagai profesi!) secara proporsional dengan beban kerja dan produktivitas, upah buruh jauh lebih rendah.

Upah murah bagi buruh berbasis pada pandangan keliru bahwa pekerjaan teknis dan pengeluaran tenaga semata kurang bernilai (katakanlah dibandingkan manajer atau tenaga administrasi). Ada asumsi, pekerjaan buruh tidak memerlukan kepintaran dan keahlian tertentu. Tanpa kualifikasi pendidikan pun seseorang dapat mengerjakan tugas-tugas buruh secara mudah.

Di sisi lain, proporsi buruh masih sebatas bagian dari faktor produksi. Artinya buruh setara dengan bahan baku, pengadaan dan pemeliharaan mesin maupun biaya operasional lainnya yang setiap saat harus dihemat. Kenaikan upah buruh mengancam tingginya harga produksi suatu barang yang mengakibatkan harga jual komoditas menjadi mahal dan terancam kurang laku di pasaran.

Profil buruh semacam ini berkebalikan dengan buruh-buruh di negara maju. Posisi buruh jauh lebih kuat. Secara politik suara buruh menentukan corak kekuasaan. Kebijakan-kebijakan anti-buruh bakal menemui protes yang hebat. Dalam perikehidupan sehari-hari, imej buruh tak seburuk buruh di negeri ini. Warga dengan pendidikan tinggi banyak yang tetap merasa sebagai buruh, dan tidak ada keberatan soal ini.

Stereotip buruh yang buruk di Indonesia mengesahkan kebijakan upah murah. Negara selama ini bahkan menggunakan upah murah sebagai kampanye investasi bagi pemodal asing, seakan-akan hal tersebut sebagai daya saing utama hadirnya investasi di negeri ini. Padahal kita tahu sendiri tanpa didukung fasilitas memadai, birokrasi sederhana, ketiadaan pungutan liar, upah buruh semurah apapun kurang bermanfaat. Investor yang ingin masuk tetap berpikir panjang.

Buktinya, meski negara ini gencar berpromosi upah buruh yang murah, investasi yang diterima Indonesia tetap kalah dibanding negara tetangga yang upah buruhnya jauh lebih tinggi. Bahkan kini banyak pabrik yang merelokasi bisnisnya ke negara lain yang dianggap lebih prospektif.

Kemarjinalan posisi buruh selama ini berimbas pada resiko yang mesti dibayar mahal, terutama bagi nasib kaum buruh sendiri. Upah minimum yang diterima buruh berkonsekuensi pada kualitas hidup rendah buruh dan keluarganya. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah tinggi-tinggi, kecerdasan pun terancam karena buruh dan keluarganya tidak mendapat asupan gizi yang memadai. Apabila anggota keluarga buruh sakit, ibaratnya terjadi kiamat kecil yang kian membenamkan buruh dalam kesengsaraan.

Jumlah mereka tidak main-main. Terdapat puluhan juta buruh di seluruh negeri ini. Jika menggunakan terminologi buruh sebagai orang yang mengeluarkan tenaga untuk memperoleh imbalan dari pemberi kerja, nyaris sebagian besar penduduk Indonesia adalah buruh. Mereka adalah pekerja di pabrik-pabrik, pembantu rumah tangga, kuli, pelayan toko, pekerja bangunan, nelayan kecil, petani penggarap dan lain-lain.

Masa Depan Bangsa

Buruh tidak saja sekedar persoalan kuantitas dari keberadaan mereka yang besar, pengaruhnya langsung maupun tidak, berimbas pada kelompok lain, baik yang sama-sama marjinal maupun yang lebih beruntung. Oleh karena itu, mendesain nasib buruh (lebih baik atau lebih buruk) pada dasarnya adalah desain bagi nasib rakyat secara keseluruhan.

Skema upah murah dikatakan merangsang kehadiran investor, dan lalu melahirkan lapangan pekerjaan. Skema ini pantas dipertanyakan ulang mengingat realitas tidak menunjukkan hal tersebut. Upah buruh negeri ini tetap murah dan tingkat pengangguran ternyata juga tinggi. Ketidaksinkronan tersebut mesti kembali ditelisik, dianalisis secara ilmiah dan perlu dievaluasi guna mendorong adanya kebijakan baru mengenai pengupahan.

Upah murah semakna dengan daya beli yang rendah. Kita tak dapat berbuat banyak jika berpenghasilan rendah. Pembelanjaan pertama-tama dan paling utama hanyalah untuk memastikan kelangsungan hidup. Kebutuhan yang sekunder sifatnya ditunda dipenuhi atau tidak dipenuhi sama sekali. Apabila orang seperti “kita” ternyata berjumlah sangat banyak, imbas langsungnya adalah daya serap pasar yang rendah.

Pasar cepat jenuh karena daya beli masyarakat tidak cukup mampu menyerap komoditas. Orientasi produksi kemudian adalah ekspor bagi pasar luar negeri. Namun lambat laun peluang ini semakin sulit karena banyaknya kompetitor, terutama dari Cina. Jangankan bersaing di negeri asing, bersaing di pasaran dalam negeri saja, produk asli kita masih sering kelimpungan.

Alih-alih memperbaiki nasib kaum buruh, desain percepatan perbaikan stuktur pendapatan di sektor buruh kian penting, bahkan bagi pemodal/investor sekalipun. Upah buruh yang baik artinya daya beli masyarakat juga kian baik. Keadaan ini memastikan setiap produk dan komoditas yang ada mampu dan cepat diserap pasar.

Memang akan ada faktor inflasi. Di sinilah pemerintah memainkan peran utamanya untuk menghentikan laju inflasi agar tidak serta merta ketika upah buruh diperbaiki secara signifikan. Misalnya kebijakan pemerintah diarahkan bagi peminimalan “biaya siluman” yang harus dikeluarkan pemilik bisnis ketika menjalankan usahanya. Menurut mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, biaya ini memangsa 30% pengeluaran dari biaya produksi, jauh lebih tinggi dari yang disediakan untuk gaji pekerja (kurang dari 15%).

Selama ini tuntutan perbaikan upah buruh seakan-akan sebagai kepentingan buruh semata. Pandangan ini ada baiknya digeser. Nasib buruh pula nasib rakyat keseluruhan. Memastikan nasib buruh lebih baik berarti memastikan nasib dan masa depan bangsa lebih baik pula.

Oleh: Irman Bunawolo

0 komentar: