Sisi Positif Kenaikan Upah

Sunday 18 January 2015

Sisi Positif Kenaikan Upah

Sisi Positif Kenaikan Upah
Aksi perjuangan perlawanan Politik Upah Murah - KABUT BERGERAK
Kenaikan upah buruh cukup tinggi yang mulai berlaku Januari ini tampaknya masih menyisakan sejumlah persoalan. Kelompok pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) masih berusaha mencari celah untuk mengutak-atik, atau menyiasati agar upah Rp 2 jutaan (di Jabodetabek, Karawang, Cilegon) bagi buruh itu ditangguhkan, bahkan tidak dilaksanakan sama sekali.

Organisasi pengusaha , bolak-balik mengutarakan ancaman, antara lain PHK besar-besaran yang bakal menimpa kaum buruh. Ancaman lainnya, pengusaha memilih membangkrutkan dirinya sendiri, atau, mengalihkan pabrik ke daerah lain yang upahnya masih rendah, bahkan relokasi ke luar negeri. Belakangan, Apindo mengancam keluar dari Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional.

Tak cuma Apindo sebetulnya. Banyak kalangan masih kurang sreg dengan upah buruh sebesar itu. Sejumlah intelektual sempat menyampaikan kegundahan soal ini. Contohnya Ulil Abshar Abdalla yang pernah menulis kultwit (kuliah Twitter) yang menolak upah buruh yang menurutnya bisa lebih tinggi dari gaji freshgraduate. Juga ‘aktivis Twitter’ lainnya seperti Nukman Luthfie. Para kaum kelas menengah itu selain menyoal gaji buruh yang menyamai PNS, juga perihal etos kerja kaum pinggiran ini yang diklaim masih rendah.

Sebuah tulisan di media nasional terkemuka bahkan seperti menyamakan upah tinggi sebagai simalakama, termasuk bagi si buruh sendiri. Skenarionya, jika perusahaan tak mampu memenuhi gaji besar karyawannya, PHK-lah yang terjadi. Pengangguran otomatis meningkat dan menciptakan banyak kerawanan. Sebaliknya, jika perusahaan mampu, akan terjadi urbanisasi besar-besaran. Desa-desa pun kehilangan tenaga produktif, sehingga lahan pertanian kekurangaan tenaga penggarap. Walhasil, harga pangan bakal meroket dan menghantam buruh pula.

Ancaman yang ditebar berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini. Faktanya, sejumlah industri otomotof saat ini rebutan untuk membuka pabrik baru di Indonesia. Riset IHS Otomotif itu juga menjelaskan, penjualan mobil Indonesia akan mencapai 1,2 juta unit pada tahun 2016 mendatang. Ini didukung dengan hasil analisis dari CLSA Asia-Pacific Markets, yang menyebutkan potensi pasar Indonesia yang terbuka lebar. Belum lama, perusahaan Honda membangun  pabrik baru  di Karawang, Jawa Barat (Vivanews tanggal 11 Desember 2014). Selain itu sejumlah perusahaan ponsel juga mengantri menanamkan modal untuk menggenjot produksi di Indonesia.

Tentu, kenyiyiran-kenyinyiran itu menyingkirkan fakta bahwa upah layak adalah kebutuhan tak terbantahkan bagi mereka yang menjual tenaganya. Ada kesan mengemuka bahwa kaum buruh sudah sepantasnya dibayar rendah, sebab jika sebaliknya akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, pendidikan minimal yang dipunyainya sama seperti penonton tanpa tiket yang dilarang memasuki arena pertunjukkan.

Hal Positif

Bagi buruh, kenaikan upah itu hanyalah buah pengorbanan tenaga dan pikiran yang mereka sumbangsihkan bertahun-tahun lalu tanpa upah memadai. Toh, kenaikan sebesar sekitar 10 persen itu pun berhadapan langsung kenaikan harga kebutuhan pokok dampak dari kenaikan harga BBM dan tarif listrik.

Di lain pihak, kenaikan upah buruh bisa menjadi blessing in disguise. Saat ini, dunia pertama (negara negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Jepang) tengah mengalami krisis hebat, atau setidaknya belum pulih dari krisis ekonomi yang mendera sebelumnya. Mereka kini tak lagi bisa terlalu diandalkan sebagai pasar bagi produk-produk negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan sebaliknya, merekalah yang kini mengincar pasar di Indonesia bagi produk-produknya.

China cukup pintar dengan berusaha memaksimalkan pasar dalam negeri mereka sendiri yang memang berjumlah milyaran penduduk itu. Seperti yang diberitakan oleh harian kompas tanggal 9 Januari 2013, Pemerintah China menaikkan uang pensiun karyawan perusahaan sebesar 10 persen. Meski dibayangi pembengkakan dana pensiun yang harus digelontorkan, pemerintah setempat lebih memilih supaya daya beli dalam negeri terdongkrak. Hal ini tentu saja bakal mengurangi ketergantungan China terhadap ekspor.

Kecenderungan ini harus dilihat lebih jeli sebagai kesempatan yang sama bagi Indonesia. Pasar dalam negeri harus ditingkatkan, dimana hal tersebut mutlak menyertakan kemampuan cukup daya beli konsumennya. Pilihan menaikkan upah buruh hingga level memadai adalah keniscayaan. Selain berjumlah besar, pemerintah tak memiliki kemampuan mengintervensi pendapatan petani (yang jumlahnya tak kalah besar) atau kelompok profesi lainnya. Sedangkan PNS, secara kuantitas tak cukup kuat dijadikan sebagai pendongkrak konsumsi nasional, pun kian membebani APBN.

Secara mikro, buruh berpenghasilan memadai akan semakin giat berbelanja, dan bahkan menabung. Komoditas yang dibeli buruh pun tak melulu kebutuhan primernya saja (bahan makanan dan tempat tinggal), tapi juga mulai menyasar ke produk-produk jasa, hiburan, rekreasi, dan kebutuhan tersier lainnya. Dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari pun, upah memadai menjamin penyediaan keragaman nutrisi dan kualitas lebih baik.

Bayangkan, berapa banyak jenis bisnis kecil hingga besar yang ikut terdongkrak oleh kenaikan upah buruh! Bayangkan pula berapa jumlah tenaga kerja formal maupun informal yang ikut terangkat akibat upah buruh yang tinggi ini.

Optimisme misalnya, mulai terpancar dari bisnis properti. Kenaikan upah dengan sendirinya mendorong buruh mulai melirik untuk memiliki rumah, suatu hal yang musykil pada beberapa tahun lalu. Pabrikan sepeda motor pun berseri-seri setelah dihantam kebijakan kenaikan uang muka yang tinggi. Salah satu komoditas yang paling diinginkan buruh adalah sepeda motor, dan ketersediaan uang untuk membelinya otomatis mengerek penjualan alat angkut murah itu.

Beberapa hal negatif yang tersebut di atas pun, tak sepenuhnya buruk. Relokasi industri di satu sisi berarti memecat banyak buruh, tapi jika masih di wilayah Indonesia, berarti juga pemerataan industri ke daerah-daerah lain. Pemerataan basis industri ini akan menahan gelombang urbanisasi. Sedangkan pilihan relokasi ke luar negeri memang merugikan, tetapi dipastikan jarang terjadi mengingat kerumitan yang ditimbulkan, belum tentu untung dan tak ada jaminan upah buruh di negara lain lebih murah.

Seringkali ungkapan itu muncul (relokasi industri) kalau ada persoalan kenaikan upah. Disebut-sebut, investasi di dalam negeri akan pergi ke luar negeri. Tetapi Menurut Anggota Komisi Tenaga Kerja DPR Sri Rahayu sebagaimana yang diberitakan jaringnews.com tanggal 9 Januari 2013 berpendapat bahwa upah di luar negeri memiliki standar upah yang jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Banyak investor asing ke Indonesia karena upah buruh yang murah, ungkap Sri, tetapi ketika pengusaha lokal pergi membangun usaha di luar negeri, ternyata banyak yang merugi.

Anugerah tersembunyi lainnya, upah tinggi berpotensi mengalihkan keinginan banyak orang pergi ke luar negeri untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang umumnya pembantu rumah tangga. Dengan posisi sekarang, upah menjadi buruh tak berbeda jauh dengan bekerja sebagai TKW di Arab Saudi, bahkan lebih tinggi dari Malaysia. Jika ada pilihan semacam ini, jumlah TKW bisa ditekan lebih rendah, bahkan habis suatu ketika.

Lagipula, jika Indonesia hendak mengejar status negara maju, mana ada negara maju yang upah buruhnya rendah?

Oleh: Che Poniman