Sarimin Tak Lagi Pergi ke Pasar

Monday 1 April 2019

Sarimin Tak Lagi Pergi ke Pasar

Sarimin Tak Lagi Pergi ke Pasar
Joko Sumantri (1978-2014)
Panas menerpa. Seakan-akan menembus atap bus kota dan memanggang seisi penumpang di dalamnya. Jika bus kota berhenti buat menanti penumpang (dan ini agak sering), maka panas terasa seperti kompor yang dinaikkan sumbunya. Orang-orang yang bolak-balik menaiki bus kota di siang hari, seperti aku yang kebagian masuk kerja di siang hari, mesti berkompromi. Agar panas di luaran tak sampai masuk ke dalam otak dan mendidihkan pikiran.
Untung tak banyak kursi terisi. Bus-bus kota mulai kehilangan penumpang semenjak banyak orang memiliki sepeda motor. Di bus kota yang saat ini kutumpangi saja tak ada setengah kursi yang terisi. Dan akibatnya begini. Penumpang yang jarang bikin bus kota tambah kerap berhenti. Berharap ada saja orang yang mau naik.
Biasanya aku sangu buku menghabiskan waktu dan kesempatan. Tapi hari ini tidak. Karena sedikit terburu-buru, novel atau kumpulan cerpen jadi tak terbawa. Melamunlah aku. Memandang kosong pada lalu-lalang orang dan kendaraan. Jalan-jalan aspal kelihatan berkilau oleh terpaan sinar matahari. Menciptakan halusinasi air. Bagai di gurun saja.
Mataku terantuk pada sosok lelaki tua yang memikul beban klenengan, bermacam benda tak lazim dan seekor monyet yang duduk di salah satu ujung pikulan. Di lehernya tergantung sebiji radiotip butut. Sebuah aki juga tergantung di pikulannya itu sehingga menambah berat beban pada pundaknya. Dia kepayahan betul. Terlihat tua dan lelah, menerjang udara menyengat.
Dia, tukang topeng monyet itu, hanyalah panorama. Orang sekelebatan melihatnya dan kemudian melupakan begitu saja. Seakan-akan lelaki tua itu tak pernah ada. Tak ada perbedaan antara jika dia hadir maupun tak hadir dalam bola mata kita. Aku pun sepertinya hendak begitu. Merasa kasihan padanya, namun rasa kasihan itu toh sekedar iba. Aku memperhatikannya karena menarik dan kontras di antara mozaik pemandangan sebuah perempatan kota yang semrawut. Tapi tak ada apa-apa setelah itu. Setelah bus kota akhirnya merasa putus asa menunggu penumpang dan lalu kabur menjajah jalan.
Tapi tidak. Bus kota memang berjalan lambat, namun ada sedikit keributan. Lelaki tua tukang topeng monyet itu ternyata naik ke bus kota yang kutumpangi. Pikulannya bikin repot dan dapat berayun mengenai kepala seseorang. Sang kenek membantu. Lelaki tua itu terlihat bingung dan lega sekaligus. Lalu dia menuju ke belakang. Ke jajaran bangku panjang yang memang lebih lowong. Dan aku sedang duduk di sana, di bagian pinggir di bibir pintu.
Rasanya sedikit menakjubkan. Lelaki tua itu baru saja memenuhi pikiran ketika melihatnya kepayahan di seberang perempatan. Kini dia benar-benar ada di sampingku. Aku tergelak sendiri. Apa ini yang disebut takdir kecil-kecilan?
Dengan sudut mataku kuperhatikan dia, juga monyetnya. Monyet itu ditaruh di pundak persis Si Buta dari Gua Hantu. Kepalanya bergerak ke sana kemari. Mungkin sedikit kebingungan atau memang karena dia seekor monyet. Tak ada monyet yang kepalanya diam saja kecuali lagi sakit.
Ketakjuban pada takdir kecil-kecilan ini membuatku terus memperhatikannya. Dia mengambil sebatang rokok sigaret yang terselip di saku baju. Lalu tangannya bergerak-gerak menjelajahi kantong celana. Mencari korek, tapi tak ada. Dia memandangku tiba-tiba dan bikin aku terkesiap.
“Ada korek, Mas?” tanyanya sambil menyentuh pundakku. Aku tergeragap. Kontan kuambil korek di tas. Cepat-cepat kuberikan pada lelaki tua itu. Asap rokok pun segera terhembus dari mulut tuanya. Asap dari rokok tanpa merek.
“Rokok, Mas?” ujar lelaki tua itu memberi tawaran sewaktu mengembalikan korek. Aku menggeleng. Kuambil sendiri rokok di tas dan menyulutnya. Jadilah ruang dalam bus kota bagaikan perapian.
Rokok yang kuhisap jelas lebih enak. Tapi ekspresi yang kulihat pada lelaki tua itu menunjukkan sebaliknya. Dia merokok seperti seminggu tak merokok sama sekali. Matanya terpejam sewaktu menghisap dalam-dalam, lalu terbuka ketika menghembuskannya. Sementara dalam beberapa hisapan, rokok dalam mulutku bagai menjelma arang. Segera saja kumatikan dan kubuang ke jalanan.
“Kenapa, Mas? Masih panjang begitu kok dibuang. Lagi banyak pikiran?” ujar lelaki tua itu lagi.

Aku agak sewot mendengarnya. Diam-diam dia juga memperhatikanku ternyata. Tidak menyenangkan berada dalam situasi seperti ini. Tapi segera saja aku menyadari sebab aku melakukan hal yang sama padanya. Maka aku pun tersenyum sambil menggeleng.
“Tidak, Pak. Cuma bosen saja nggak sampe-sampe. Saya pasti terlambat masuk kantor,” ujarku berbasa-basi.
“Masuk kantor kok siang hari?”
“Saya kerja di LSM, jadi tak terpatok pada jam kantor biasa.”
“Wah wah, enak betul ya Mas ini?”
“Ah, nggak juga. Sama saja seperti kerjaan lainnya. Bapak juga seperti saya. Tidak punya jam kantor….”
Lelaki tua itu tiba-tiba tertawa tergelak-gelak mendengar peryataanku. “Gimana mau masuk seperti orang kantoran, orang kantornya saja ndak punya! Mas-nya ini ada-ada saja....” tiba-tiba dia menjulurkan tangannya ke arahku. “Kenalkan, saya Pak Sardi tukang topeng monyet. Kata orang, pekerjaan saya ini tak ada duanya di dunia….”
Dengan sedikit jengah, kuterima perkenalannya.
“Bapak mau show di mana?” tanyaku. Pak Sardi tertawa lagi. Dia merasa lucu mendengar perkataanku.
“Saya mau showw di mal di tengah kota,” ujar Pak Sardi. Dia mengucapkan kata show seakan-akan kata-kata itu baru didengarnya buat menyebut pertunjukan topeng monyet.
“Di mal? Topeng monyet di mal?” tanyaku gantian merasa heran.
“Ada apa, Mas? Apa di sana tidak boleh ada topeng monyet?” tanyanya menyelidik. Aku sontak menggelengkan kepala. Bukan maksudku menyatakan boleh atau tak boleh, tapi aku sendiri memang tak pernah tahu soal itu.
Atau jangan-jangan dia memang diundang oleh si pemilik mal? Mereka suka-suka seperti itu. Mengundang penyanyi atau bintang sinetron untuk memancing kedatangan pengunjung sebanyak mungkin. Maka kutanyakan kemungkinan itu padanya, tapi Pak Sardi menggeleng.
“Nggak, Mas. Mana ada pemilik mal yang kenal orang kecil seperti saya ini. Saya ke mal coba-coba saja. Katanya banyak orang di sana, termasuk anak-anak. Jadi saya ke sana aja. Siang-siang begini susah gelar tanggapan di kampung. Sore pas mereka pulang sekolah saja susah. Anak-anak lebih suka nonton tipi ketimbang lihat topeng monyet. Pernah ada seorang anak yang mencibir, di tipi monyet-monyetnya lebih besar dan berbulu warna-warni, sementara si Sarimin kecil dan jelek. Ah, memang jaman sontoloyo betul sekarang-sekarang ini….”
“Saya sudah pernah tampil di mana-mana,” lanjut Pak Sardi. “Di halaman sekolah menunggu diusir kepala sekolah, di kampung-kampung, di terminal atau stasiun kereta juga pernah. Malah, saya pernah sekalian naik kereta dan di atas gerbong nekad menggelar showw (mulutnya selalu sedikit mencucu jika menyebut kata ini). Tentu saja saya lalu digelandang polisi kereta. Begitulah nasib saya ini, Mas….”
Aku mengangguk-anggukan kepala saja tanda prihatin. Jika ditanggapi, dia bakal nyerocos terus-terusan.
Kuperhatikan monyetnya. Sama kasihannya dengan Pak Sardi. Kata orang, apabila sudah terlalu lama, pemilik hewan piaraan bakal mirip dengan piaraannya sendiri. Mereka tentu telah bertahun-tahun bersama-sama sepanjang waktu dan tempat.
Tidak banyak peralatan yang dia bawa. Topeng monyet minimalis. Pak Sardi kelihatan sadar diri dengan perhatianku.
“Saya memang sendirian, Mas. Dulu banyak yang ikut, tapi lama-lama pada mundur. Upah yang diterima makin sedikit. Kebanyakan orang yang ikut bikin penghasilan berkurang banyak, bisa-bisa nombok. Kami harus jalan kesana-kemari, keluar ongkos buat transport dan makan. Akhirnya ya sudah. Saya tinggal sendirian. Lalu saya beli tip bekas, pake kaset buat musik pengiring. Saya tinggal kasih perintah sama si Sarimin, pergi ke pasarlah, naik motor, pake payung, yah, begitulah!....”
Aku tersenyum trenyuh padanya. Aku ingin bertanya kenapa dia tidak berhenti saja. Pasti ada sanak keluarga yang bisa merawatnya ketimbang menyusuri jalan untuk penghasilan yang tak menentu.
“Saya memang sudah tua, Mase. Tapi bukan berarti saya tak mampu bekerja. Lagipula saya tidak suka menggantungkan hidup pada orang lain, bahkan pada anak atau saudara sendiri. Dan terutama saya kasihan sama si Sarimin kalau dibiarkan menganggur. Pasti dia juga tak senang,” ujarnya seperti menjawab keherananku.
Bus kota terus melaju dan kian dekat dengan tujuan. Pak Sardi tak berhenti berbicara apa saja, seakan-akan dia menemukan tempat mengadu. Dan ajaibnya, apa yang menjadi keherananku dalam hati, dia segera memberikan jawaban. Barangkali dia berpengalaman menghadapi lawan bicara dan langsung mengerti apa saja yang ingin ditanyakan seseorang padanya.
“Pak Sardi saya mau tanya, kenapa si monyet selalu dinamai Sarimin?” ujarku spontan saja, memotong cerocosannya.
Tapi dia tak langsung menjawab. Agaknya dia sedikit kaget dengan pertanyaanku.
Belum lagi memberi jawaban, mal yang dituju Pak Sardi sudah nampak. Bus kota pun berhenti dan Pak Sardi seperti melupakan pertanyaanku. Dia cepat-cepat membereskan pikulan dan seisinya. Segala macam barang: klenengan, motor-motoran, payung kecil, gerobak mainan dan juga si monyet.
Dengan pandangan mengekor, aku tersenyum-senyum sendiri. Pak Sardi tentu harus mengganti ujaran khas topeng monyet: Sarimin tak lagi pergi ke pasar, tapi ke mal. Dan mungkin dia tak perlu membawa payung dan tas belanjaan. Sarimin mesti membawa alat kelengkapan khas lain buat pergi ke mal. Dandanan rapi barangkali. Juga terlihat muda dan modis, menenteng HP sambil mendengarkan musik melalui ipod.
Setidaknya kehadiran Pak Sardi, Sarimin dan topeng monyetnya menyadarkan para pengunjung mal akan eksistensi dunia lama di luar dinding-dinding mal. Dunia lama yang coba ditinggalkan oleh mereka menuju modernitas antah-berantah.Tanpa disadari, Pak Sardi telah menjadi duta besar dari tradisi, masa lalu, dunia lama sekaligus kearifan lokal di hadapan perwakilan kebudayaan global, kepanjangan tangan kapitalisme bernama mal.
Ucapan Pak Sardi ini memang benar adanya. Topeng monyet memang khas Indonesia dan tidak ditemukan di negara lain. Stasiun televisi RCTI pernah menayangkan berita feature mengenai tanggapan topeng monyet di atas kereta, keterangan mengenai penggelandangan tangapan topeng monyet sebenarnya tidak diberitakan, namun merupakan spekulasi penulis karena tidak mungkin topeng monyet dilegalkan di atas kereta . Cerita ini sedikit banyak terinspirasi tayangan tersebut.
Pemikiran ini tentu pandanganku belaka. Orang lain bisa beda perspektif.

Oleh: Joko Sumantri
Penulis adalah alumnus FISIP UNS dan pernah menjadi Staf Perhimpunan Citra Kasih, Solo