Desakan kepada pemerintah agar memenuhi prosedur hukum sebagaimana diatur oleh UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atas rencana pembubaran sejumlah organsasi, justru direspon berbeda. Alih-alih mengambil tindakan hukum melalui proses peradilan, pemerintah malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, untuk melegitimasi tindakan pembubaran sejumlah organisasi, dengan menghapus sejumlah ketentuan di dalam UU Ormas.
Hal tersebut disampaikan oleh Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melalui siaran pers yang dimuat pada esham.or.id, website resmi ELSAM. Wahyu melihat langkah hukum pemerintah dalam merespon ekpresi politik organisasi masyarakat yang dilabel “anti pancasila”, adalah salah.
BACA JUGA:
BACA JUGA:
"Lepas dari perbedaan konteks politik yang melatarinya, pemerintah justru terkesan tidak belajar dari kesewenang-wenangan di masa lalu, ketika membubarkan organisasi kemasyarakatan tanpa proses hukum/peradilan", Kritik Wahyu.
Secara umum, membaca substansi Perppu No. 2/2017, materinya hampir senada dengan UU No. 8/1985 tentang Ormas, maupun TAP MPRS No. 25/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis / Marxisme -Leninisme, yang memberikan wewenang bagi pemerintah untuk membubarkan suatu organisasi tanpa melalui proses peradilan.
Wahyu mencontohkan, pembubaran Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) di era tahun 80an yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan mengacu pada UU No. 8 Tahun 1985, maupun pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semata-mata hanya mengacu pada TAP MPRS No. 25/MPRS/1966. Bahkan terhadap PKI, tidak hanya organisasinya yang dibubarkan, tetapi juga anggota-anggotanya dipersekusi tanpa proses hukum, lanjut Wahyu.
Bagi ELSAM hal tersebut menjadi satu kemunduran dalam perjalanan hampir dua dekade demokrasi Indonesia. Kebebasan berserikat dan berorganisasi merupakan bagian dari kebebasan dasar yang harus dilindungi, sebagaimana dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005.
Lebih jauh Wahyu mengungkapkan, kaitannya dengan pembubaran, sebagai tindakan pembatasan yang dianggap paling kejam, tindakannya harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law sebagai pilar dari negara hukum, dimana pengadilan memegang peranan kunci dalam prosesnya. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
"Tindakan pembubaran melalui pengadilan juga hanya bisa ditempuh setelah seluruh upaya lain dilakukan, mulai dari peringatan (notification), penghentian kegiatan, sanksi administratif, hingga pembekuan sementara. Tindakan pembubaran semestinya ditempatkan sebagai upaya terakhir (the last resort), jika upaya-upaya lainnya telah dilakukan", Tegas Wahyu.
Merespon hal tersebut, untuk memastikan masa depan perlindungan dan pemenuhan hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi, sebagai bagian penting dari kelanjutan proses demokratisasi di Indonesia, ELSAM menekankan kepada:
DPR untuk menolak Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, karena materinya jauh dari prinsip-prinsip perlindungan kebebasan sipil dan the rule of law; Mahkamah Konstitusi memastikan proses yang fair trial dalam pengujian Perppu No. 2 Tahun 2017, dengan secara konsisten menerapkan pertimbangan hukum (ratio decidendi) dalam putusan pengujian UU Ormas sebelumnya. (IB)
0 komentar:
Post a Comment