Membedah Latar Belakang Undang - Undang Ketenagakerjaan

Friday 21 July 2017

Membedah Latar Belakang Undang - Undang Ketenagakerjaan

Untuk mengetahui dari manakah latar belakang suatu undang-undang (UU), bagian esensial dari UU yang harus diperhatikan adalah bagian konsiderans ‘menimbang’ yang terdiri dari unsur filosofis, unsur sosiologis dan unsur yuridis. Dalam konsiderans ‘menimbang’ inilah terdapat pokok pikiran dari UU, sehingga tanpa harus membaca pasal demi pasal kita dapat langsung mengetahui apa yang di atur di bagian batang tubuh (isi) UU.

Unsur Filosofis


Unsur filosofis dari UUK terdapat dalam konsiderans ‘menimbang’ huruf a ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pembangunan nasional manakah yang dimaksud bunyi konsiderans ‘menimbang’ huruf a di atas?
UUD 1945 tidak mengatur tentang apa yang disebut dengan pembangunan nasional. Pembangunan nasional dibuat secara fleksibel dan tergantung pada rezim yang berkuasa. Rancangan pembangunan nasional tersebut dibuat oleh presiden segera setelah terpilihnya presiden tersebut melalui pemilihan umum. Dalam hal UUK, pembangunan nasional yang dimaksud adalah pembangunan nasional berdasarkan Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang dibuat ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden. Propenas tersebut dilegalisasi menjadi sebuah UU No. 25 Tahun 2000.

Apabila kita berbicara soal pembangunan nasional, maka kita dapat menduga bahwa hal tersebut secara kompleks akan mempengaruhi berbagai aspek yang mendukung pelaksanaan pembangunan nasional tersebut. Oleh karena itu, tidak heran apabila UU Propenas memerintahkan pembentukan atau penyempurnaan berbagai UU yang menyangkut pelaksanaan UU Propenas, termasuk UUK. Walaupun tidak secara tegas dinyatakan dalam batang tubuh UU Propenas, lampiran UU Propenas menyatakannya. Adanya kekuatan hukum lampiran sebagai bagian dari UU Propenas dinyatakan secara tegas dalam Pasal 3 UU Propenas. Masalahnya, idealkah sebuah landasan filosofis tentang pembangunan nasional dalam UUK, yang seharusnya merupakan pernyataan satu atau lebih pasal konstitusi sebuah negara, juga berasal dari UU? Hal ini menimbulkan pendapat bahwa UU yang memerintahkan pembentukan UU adalah “UU Pokok”. Namun, hukum Indonesia tidak mengenal “UU Pokok”. Di Belanda,” UU Pokok” berarti undang-undang yang merupakan induk dari UU  yang lain. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Belanda, “UU Pokok” merupakan hierarki yang lebih tinggi dari UU. Oleh karena itulah “UU Pokok” dapat dikatakan sebagai induk dari UU. Sedangkan, di Indonesia, semua undang-undang berada dalam hierarki yang sama. Sehingga, secara tata urutan peraturan perundang-undangan, sebuah UU tidak dapat menjadi sumber dari keluarnya UU yang lain.

Idealnya, landasan filosofis pembangunan nasional berasal langsung dari konstitusi. Untuk lebih konkret, kita dapat memperhatikan contoh Konstitusi Republik Kuba. Di Kuba, “cetak biru” semacam Propenas diatur di dalam konstitusinya, tepatnya pada Bab I tentang prinsip-prinsip politik, sosial, dan ekonomi negara yang bersistem sosialisme. Konstitusi Kuba secara rinci menjelaskan bidang-bidang apa saja yang harus diundang-undangkan menyangkut pelaksanaan prinsip-prinsip politik, sosial, dan ekonomi dalam sistem sosialisme. Selain memiliki ketegasan sistem dan langkah-langkah pelaksanaannya, tampaknya pembuat konstitusi Kuba juga menyadari bahwa “cetak biru” adalah hal yang akan paling banyak menelurkan UU. Pengaruhnya terhadap materi muatan UU adalah tidak adanya ‘celah’ bagi UU memuat materi muatan yang berbeda dari apa yang diperintahkan konstitusi dengan alasan konstitusi bersifat fleksibel secara ideologi.  
UUD 1945 tidak memiliki prinsip-prinsip bernegara dan sistem yang menjadi ideologinya, apalagi “cetak biru”. Akibatnya, kekosongan tersebut selalu memberi celah bagi berbagai produk UU untuk mengisi kekosongan sistem di UUD 1945, yaitu berbagai UU yang memiliki langkah-langkah konkrit sebuah sistem yang menghisap manusia. Dan UU yang paling konkrit merupakan “cetak biru” agenda-agenda neoliberalisme adalah UU Propenas. Mau tidak mau, banyak UU yang pembentukkannya merupakan perintah UU Propenas hanya menjadi aturan bersanksi yang merinci tiap-tiap agenda neoliberalisme.

Unsur Sosiologis


Unsur sosiologis dalam UUK terdapat dalam konsiderans ‘menimbang’ huruf b, c, dan d yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

(Huruf b)

Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan

(Huruf c)

Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan

(Huruf d)

Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Dari bunyi masing-masing konsiderans di atas, dapat dikatakan bahwa konsiderans ‘menimbang’ huruf b dan c merupakan latar belakang yang berkaitan dengan “cara memperlakukan” tenaga kerja dalam era neoliberalisme. Sedangkan huruf d merupakan latar belakang yang berkaitan dengan masalah-masalah anti-diskriminasi dalam ketenagakerjaan.

Bahwa konsiderans ‘menimbang’ huruf b dan c berkaitan dengan “cara memperlakukan” tenaga kerja dalam era neoliberalisme, tampak dalam Lampiran UU Propenas Bab IV tentang Pembangunan Ekonomi, Bag. D tentang Kerangka Ekonomi Makro, angka 1 tentang Arah Kebijakan Ekonomi Makro, dalam langkah-langkah pokok ke-8 yang berbunyi:

Mempercepat realokasi sumber daya pembangunan. Selama krisis berlangsung, lingkungan usaha mengalami perubahan mendasar...Kegiatan usaha yang berorientasi ekspor mendapatkan keuntungan yang besar dalam masa krisis kerena menurunnya nilai tukar riil rupiah yang selanjutnya meningkatkan daya saing produknya. Oleh karena itu realokasi sumber daya akan didorong,... Langkah-langkah yang akan dilakukan antara lain pengurangan hambatan berusaha seperti deregulasi perdagangan dan investasi; pelatihan tenaga kerja untuk mendukung proses perpindahan kerja sumber daya manusia; serta pemeliharaan dan rehabilitasi prasarana dasar untuk menunjang kelancaran produksi dan distribusi.

Dari bunyi lampiran UU Propenas di atas, tampak peran tenaga kerja yaitu untuk melipatgandakan keuntungan dalam suasana krisis, yang mana untuk itu tenaga kerja harus menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan orientasi usaha ke arah ekspor beserta perubahan produk-produk yang menjadi prioritas ekspor. Selain itu, tenaga kerja berkedudukan sebagai barang yang bisa dibawa ke manapun pemiliknya mau. Artinya kerja bukan lagi sebagai hak karena pilihan dan kewajiban karena pertimbangan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, tapi kerja adalah paksaan. Latar belakang timbulnya pengaturan LMF seperti ini adalah kebijakan-kebijakan internasional yang dikeluarkan oleh WTO (yang kelak diundang-undangkan pula, seperti UU Perdagangan, UU Persaingan Usaha, UU HAKI, UU Perseroan Terbatas, dan lain sebagainya).

Di sisi lain, sebagaimana disebutkan sebelumnya, huruf d merupakan latar belakang yang berkaitan dengan masalah-masalah anti-diskriminasi dalam ketenagakerjaan. Bunyi konsiderans ‘menimbang’ huruf d sama dengan isi Lampiran UU Propenas Bab VIII tentang Pembangunan Sosial dan Buaya yang menyerukan perlindungan tenaga kerja tanpa menghambat iklim usaha. Konvensi-konvensi International Labour Organization (ILO) adalah hal-hal yang melatarbelakangi konsiderans ‘menimbang’ huruf d dan Bab VIII Lampiran UU Propenas. Hanya konvensi-konvensi ILO yang meneriakkan kemanusiaan dan anti-diskriminasi tanpa mengganggu pelaksanaan kebijakan-kebijakan World Trade ORganization (WTO) yang melatarbelakangi konsiderans 'menimbang’ huruf b dan c serta Bab IV Lampiran UU Propenas.

Dengan uraian di atas, kita dapat menebak bahwa UUK berisi pengaturan International Monetary Fund (IMF) dan perlindungan buruh yang tidak menyentuh IMF. Perlindungan hanya seputar isu-isu civil societies yang seringkali menghambat gerakan buruh.

Unsur Yuridis


Unsur yuridis UUK terdapat dalam konsiderans ‘menimbang’ huruf e yang berbunyi:
Bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu di cabut dan/atau ditarik kembali
Masalahnya, “pembangunan ketenagakerjaan” selalu tergantung pada kebijakan masing-masing presiden terpilih dan jangka waktunya sebatas lima tahun. Ada kemungkinan produk hukum sebelumnya dicabut/diubah atau bahkan dipertahankan apabila dianggap masih sesuai dengan tuntutan pembangunan.

Hal di atas berkaitan erat dengan kewenangan presiden dalam proses pembentukan UU. Yang biasa terjadi pasca pemilihan umum di Indonesia adalah terjadi perubahan atau pencabutan secara besar-besaran terhadap UU. Dan ini semua adalah ulah dari pengaju UU “cetak biru”, yaitu presiden.

Untuk mencari kembali contoh ideal kewenangan membentuk UU, kita dapat kembali menengok Kuba. Di Kuba, UU disetujui, diubah, dibatalkan, dan dicabut hanya oleh TNAPP. Rancangan UU tidak hanya datang dari  the Council of State (presiden di dalamnya), tapi juga TNAPP sendiri, the Council of Ministers, the commission of TNAPP, the Central Organization of Cuban Trade Unions (COCTU), the People’s Supreme Court (untuk hal-hal yang berkaitan dengan administration of justice), the Office of the Attorney General of the Republic (dalam hal yurisdiksi), dan warga negara. Dan materi muatan rancangan-rancangan UU yang diajukan masing-masing lembaga atau badan berbeda. Misalnya, the People’s Supreme Court untuk hal-hal yang berkaitan dengan administrasi peradilan dan COCTU untuk UU yang berkaitan dengan perburuhan.  Masing-masing lembaga atau badan hanya berhak melakukan pembahasan dengan TNAPP sesuai dengan materi muatan rancangan UU yang diajukan masing-masing.

Di Indonesia, rancangan UU hanya datang dari presiden, DPR sendiri, atau LSM. Namun, Presiden tidak dibatasi tentang materi apa ia boleh mengajukan rancangan UU dan tentang materi apa DPR membuat UU. Akibatnya terhadap UUK adalah UUK ini datang bukan dari kehendak dan kepentingan buruh, melainkan kepentingan dan kehendak pihak-pihak yang berkompromi dengan presiden.

Penutup


Berdasarkan uraian konsiderans ‘menimbang’ UUK di atas, maka hal-hal yang sepatutnya disadari adalah bahwa UUK merupakan sebagian dari banyak masalah sistem hukum yang terjadi di Indonesia, yang mana merubah UUK menjadi sebuah UU yang pro buruh saja tidak cukup. Ada hal-hal lain yang harus menjadi agenda apabila kita menginginkan UU yang sepenuhnya melindungi buruh, antara lain:

  • UUD 1945 harus diganti dengan konstitusi yang memiliki prinsip-prinsip ekonomi, sosial dan politik negara dengan sistem yang secara tegas menolak segala bentuk penghisapan manusia atas manusia dan antagonisme antar kelas. Dengan kata lain, prinsip-prinsip ekonomi, sosial dan politik tersebut merupakan “cetak biru” yang menggantikan posisi Propenas dan yang semacamnya. Selain itu, “cetak biru” tersebut haruslah merupakan kehendak dan kepentingan orang-orang yang selama ini menjadi anak kandung penindasan.
  • Karena UU Propenas merupakan induk dari segala UU yang mengadopsi kebijakan-kebijakan WTO, di mana UUK merupakan imbas dari pengadopsian kebijakan-kebijakan WTO (seperti UU Persaingan Usaha, UU Penanaman Modal, UU Perseroan Terbatas,  dan lain-lain) yang bubuhi dengan embel-embel kemanusiaan dari konvensi-konvensi ILO yang sebenarnya memberi ruang bagi kebijakan-kebijakan WTO, maka perlu dipahami bahwa dengan mencabut UUK saja dan menggantinya dengan UU yang pro buruh, tidak secara serta merta menghilangkan masalah ketenagakerjaan. Sehingga, haruslah ada pencabutan (bukan perubahan) UU Propenas dan berbagai UU yang merupakan perintah dari UU Propenas, serta memanusiakan buruh dengan UU yang tidak memberi ruang bagi kebijakan internasional WTO.
  • Dalam membentuk suatu UU, termasuk UU yang pro buruh, perlu adanya lembaga legislatif yang benar-benar dapat menjamin bahwa UU buruh merupakan kehendak dan kepentingan buruh. Artinya, kembali ke masalah konstitusi, produk UU yang diusulkan oleh setiap lembaga negara atau badan lain seharusnya muatannya berbeda-beda. Misalnya, presiden hanya berhak mengajukan rancangan UU yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan, Mahkamah Agung hanya berhak mengajukan rancangan UU yang berkaitan dengan administrasi peradilan, dan satu-satunya yang berhak mengajukan rancangan UU yang berkaitan dengan buruh (jadi bukan hanya UU buruh) adalah semacam Central Organization of Cuban Trade Unions. 


0 komentar: