Tidak Terbukti Mencuri Sepatu Rijek, Hakim Vonis Bebas Buruh Pabrik Nike

Tuesday, 24 October 2017

Tidak Terbukti Mencuri Sepatu Rijek, Hakim Vonis Bebas Buruh Pabrik Nike

Kriminalisasi Serikat Buruh
Suasana ruang sidang pasca pembacaan putusan oleh hakim
Selama sebelas bulan berjuang melawan kriminalisasi, Nurbaiti binti Japani dan Suprapti binti Jumari akhirnya merasa lega setelah mendengar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada persidang hari ini, Selasa tanggal 24 Oktober 2017.

Putusan Majelis Hakim menetapkan Nurbaiti dan Suprapti tidak terbukti mencuri sepatu serta menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang. Oleh karena itu, Nurbaiti dan Suprapti dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum serta dipulihkan nama baik dan hak-haknya.

Ruang Sidang 7 Pengadilan Negeri (PN) Tangerang tempat dimana Persidangan ke-17 digelar dipenuhi oleh buruh anggota FSBN-KASBI yang hadir memberikan dukukan dan mendengarkan putusan majelis hakim secara langsung. Selain itu juga tampak di luar gedung pengadilan para buruh melakukan unjuk rasa sebagai protes terhadap proses hukum terhadap kawan nya yang dinilai cacat hukum

Sebagai simbol kemarahan dan perlawanan atas proses kriminalisasi terhadap buruh, massa melakukan aksi lepas sepatu, lalu diangkat dan diarahkan ke arah gedung pengadilan. Mereka juga melempar koin ke arah gedung pengadilan sambil berteriak “bebaskan teman kami sekarang juga. ”

Massa buruh melakukan aksi lepas sepatu dan lempar koin ke arah gedung PN Tangerang
Bahkan aksi saling dorong dan cekcok sempat terjadi antara buruh dengan aparat kepolisian yang melakukan pengamanan di sekitar pengadilan. Hal itu disebabkan adanya upaya penghadangan dari pihak kepolisian dan tidak diperbolehkan memasuki ke ruang sidang.

Nurbaiti dan Suprapti dilaporkan oleh pengusaha PT. KMK Global Sports ke Kepolisian Sektor (Polsek) Cikupa karena dituduh mencuri sepatu rijek milik perusahaan  sepatu bermerek NIKE itu. Setelah melalui proses penyidikan, Nurbaiti dan Suprapti diadili di Pengadilan Negeri Tangerang dan didakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-4 jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang dengan ancaman pidana tujuh tahun penjara.

Adapun peristiwa yang berujung pada penghakiman itu bermula saat Nurbaiti dan Suprapti menjalankan perintah kerja lembur di perusahaan yang beralamat di Jalan Cikupa Mas Raya  No.17,  Cikupa Mas Industial Estate & Where House, Desa  Telaga, Kecamatan Cikupa,  Kabupaten Tangerang – Banten. Mereka mendapat perintah untuk memotong sepatu rijek (sepatu cacat atau gagal produksi)  selama dua jam tiga puluh menit, dari pukul 16.00 WIB  s/d pukul 18.30 WIB. Selesai atau tidak selesai dalam waktu yang sudah ditentukan, mereka harus membuang limbah sepatu yang mereka potong ke tempat yang sudah ditentukan.

Dalam pres rilis mereka menceritakan bahwa ketika itu sudah waktunya untuk melaksanakan sholat magrib, sementara pekerjaan belum selesai dan masih ada sepatu yang belum dipotong. Mengingat mereka harus membuang potongan-potongan sepatu ke tempat pembuangan, mereka memutuskan untuk menggunakan lori yang didalam nya masih terdapat 22 pasang sepatu yang seharusnya juga dipotong tapi waktunya tidak cukup. Selain alasan supaya cepeat karena harus sholat magrib, juga karena mereka sudah kelelahan untuk mengangkat atau menurunkan sepatu tersebut.

“saya tidak pernah membayangkan kalau akhirnya itu akan berujung seperti ini. Biar cepet aja, makanya potongan sepatunya saya angkut pake lori yang di dalamnya masih ada sepatu yang belum selesai dipotong. Niatnya nanti saya balikin lagi lori sama sepatu rijek tersebut di posisi semula. Saya juga heran, saya dituduh mau mencuri sepatu sebanyak itu, artinya kalau saya niatnya mau mencuri berartikan sepatu itu harus saya bawa keluar dari area pabrik, kira-kira caranya gimana coba? Kan ada satpam? Saya juga taulah resikonya. Dua puluh dua sepatu bukan jarum yang bisa diumpetin di kantong celana.” Nurbaiti menceritakan.

BACA JUGA:

Hal yang menarik dari perkara yang menimpa dua orang buruh perempuan itu adanya klaim kerugian oleh pihak perusahaan sebesar Rp. 27.170.000,- (Dua puluh tujuh juta seratus tujuh puluh ribu rupiah). Hal tersebut termuat dalam berkas perkara yang diserahkan oleh penyidik. Artinya sepatu rijek saja masih dapat dijual seharga Rp. 1.235.000 per sepatu rijek. Kebayang gak yah berapa nilai penjualan dan laba perusahaan jika dibanding upah yang diterima oleh buruh?

Kriminalisasi


Kasus yang serupa dengan kasus kawan Nurbaiti dan Suprapti bukan kali pertama dalam perjuangan kaum buruh memperjuangkan haknya. Dalam catatan KASBI, setidaknya terdapat beberapa kriminalisasi yang terjadi kepada pengurus dan anggota nya di beberapa daerah.

Tanggal 9 Desember 2013, Putusan PN Gresik menyatakan Abdul Hakam dan Agus Budiono dinyatakan bersalah. Pengurus FSPBI Gresik PT Petrokimia Gresik tersebut dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan saat melakukan aksi di perusahaan, menuntut dijalankannya hak normatif. 

Tahun 2015 lalu, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bersalah dan menjatuhkan hukuman lima bulan Penjara kepada Burhanudin, Ketua Serikat Buruh Nusantara PT. Sumber Bahagia Metalindo (kini ketua umum Federasi Serikat Buruh Nusantara – KASBI) dengan dengan tuduhan penggelapan. 

Ketika itu Burhanudin sedang mengajukan gugatan terhadap perusahaan PT. Sumber Bahagia Metalindo atas PHK terhadap dirinya dan 22 orang anggotanya yang dilakukan oleh perusahaan otomotif yang ada di Jakarta Barat itu. Di tengah upaya hukum di PHI Jakarta Pusat, Burhanudin yang baru saja memperjuangkan sembilan orang anggota yang di PHK lebih dulu justru dilaporkan ke Polsek Cipondoh, Kota Tangerang.

Kriminalisasi juga dilakukan oleh pengusaha PT. Mekar Armada Jaya terhadap Raswadi dan Ferry, Pengurus Federasi Serikat Buruh Bekasi (FSBB-KASBI). Mereka dilaporkan oleh pemilik perusahaan otomotif yang berlokasi di Jl. Diponegoro KM. 38 Tambun, Bekasi tersebut ke Polsek Tambun. Namun pada akhirnya kasus ini tidak diteruskan karena mendapat perlawanan dari serikat.

Ketua dan Sekretaris FSBB PT. Mekar Armada Jaya itu dilaporkan atas tuduhan penghinaan kepada pejabat publik saat membagikan selebaran. Saat itu Raswadi dkk juga sedang di PHI Bandung atas PHK sewenang-wenang dan pemberangusan serikat buruh yang dilakukan PT. Mekar Armada Jaya.

Terakhir, di bulan September lalu PT. Metro Tara, perusahaan pengiriman barang (logistik) yang ada di Bandung mempolisikan 5 orang buruhnya yang sedang melaporkan pelanggaran hak normatif dan kontrak ke pengawasan Disnaker Provinsi Jawa Barat. Hingga kini kasus ini belum ada tindak lanjut dan tetap mendapat perlawanan dari serikat.

Kasus tersebut di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyak tindakan kriminalisasi kepada serikat buruh baik yang berakhir di meja hijau maupun di kantor kepolisian. Misalnya penangkapan terhadap 22 aktivis buruh saat aksi menolak RPP Pengupahan di Tahun 2015. Kriminalisasi terhadap empat orang buruh pabrik permen karet di kota tangerang anggota Federasi Serikat Pekerja Metal yang diadili di Pengadilan Negeri lantaran dituduh melakukan pengrusakan saat demo pada 2015. 

Trend kriminalisasi terhadap buruh mencerminkan posisi negara dalam menghadapi kaum buruh yang berbanding terbalik dengan perlakukan penegakan hukum kepada pengusaha yang melakukan pelanggaran hukum. Tidak sedikit pelanggaran pidana yang dilakukan pengusaha yang dilaporkan oleh buruh baik kepada kepolisian maupun kepada pengawasan ketenagakerjaan yang tidak kunjung diproses. 

Penegakan hukum tampak lesu tak selincah saat pengusaha melaporkan buruh. Bahkan para oknum berlebel penegak hukum itu keluar nada-nada ngeles dan saling lempar/lepas tanggung jawab. Pemerintah dan para penegak hukum seolah cuci tangan ketika buruh menuntut keadilan. (Irman Bunawolo)

0 komentar: