Dalil Gugatan Yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum

Wednesday 24 July 2019

Dalil Gugatan Yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum

Dalil Gugatan Yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum

Pada artikel sebelumnya sudah dibahas mengenai “unsur – unsur Fundamental Petendi atau Posita” serta tentang dua teori yang dijadikan acuan dalam menyusun dalil gugatan (posita), yaitu Substantierings Theorie dan Individualiserings Theorie (Individualisasi). Hal tersebut dapat dibaca dalam artikel: Memahami Lebih Detil Formulasi dan Sistematika Gugatan Yang Memenuhi Syarat Hukum

Dalam uraian ini akan diperlihatkan masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki landasan hukum, sebagai berikut:

1. Pembebasan Pemidanaan atas Laporan Tergugat, Tidak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Menuntut Ganti Rugi


Seseorang (penggugat) dilaporkan oleh temannya (tergugat) melakukan tindak pidana. Berdasarkan laporan itu dilakukan proses penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan. Ternyata pengadilan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak, acquittal) terhadapnya. Setelah putusan itu berkekuatan hukum tetap, orang tersebut mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelapor (tergugat).

Dalam kasus ini Mahkamah Agung menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara lain: Memang benar Tergugat I melaporkan penggugat melakukan tindak pidana penipuan, dan berdasarkan laporan itu, penggugat telah diperiksa sampai proses persidangan di pengadilan. Selanjutnya pengadilan telah menjatuhkan putusan yang menyatakan penggugat bebas. Akan tetapi, putusan bebas itu tidak dapat dijadikan dasar alasan menggugat ganti rugi, atas alasan di dalam negera hukum, dibenarkan melaporkan tindak pidana yang dialami atau diketahuinya, sedang masalah apakah tindak pidana yang dilaporkan memenuhi unsur delik, merupakan hak sepenuhnya dari pengadilan untuk menilainya. Dengan demikian gugatan yang diajukan dianggap tidak mempunyai dasar hukum.

Kasus yang sama dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung yang lain yang menegaskan bahwa: gugatan wanprestasi yang didasarkan atas alasan telah dilaporkan kepada polisi, tidak cukup menjadi dalil gugatan menuntut ganti rugi kepada pelapor karena setipa orang berhak mengajukan laporan kepada polisi atau kepada aparat penegak hukum.

Pendapat yang sama dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2329 K/Pdt/1985, tanggal 18 Desember 1986 yang menegaskan: adalah hak setiap orang untuk melaporkan terjadinya tindak pidana kepada penyidik, meskipun terjadi penahanan berdasarkan laporan itu, tindakan itu dianggap sah menurut hukum, apabila penahanan itu memenuhi syarat formil dan materiil yang diatur Pasal 20 jo Pasal 21 ayat (4) Kitab Undang – Undang Hukum acara Pidana (KUHAP). Sedang mengenai pemberitaan pemeriksaan perkara di pengadilan berdasarkan laporan itu, tidak bertentangan dengan hukum, karena persidangan itu dilakukan sesuai azas terbuka untuk umum sebagaimana yang diatur pasal 153 KUHAP. Dalam hal seperti ini, wartawan bebas mempublikasikan proses persidangan.

2. Dalil Gugatan Berdasarkan Perjanjian Tidak Halal


Kasus ini berkenaan dengan perjanjian future commodity trading. Dalam kasus yang demikian, salah satu Putusan Mahkamah Agung mempertimbangkan: Perjanjian Future Commodity Trading tidak dibenarkan dalam lalu lintas perdagangan, karena sejak terjadi heboh perdagangan yang seperti itu pada Tahun 1977, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan instruksi tanggal 18 Juli 1977 No. 03/01Ins/VI/1977, yang melarang bentuk dan cara perdagangan dimaksud. Tternyata, perjanjian account agreement yang diperbuat penggugat dan tergugat adalah pada tanggal 21 Oktober. Berarti, perjanjian itu dibuat sesudah perdagangan semacam itu dilarang, sehingga dasar kausa perjanjian tidak halal (ongeoorlofde oorzaak) berdasarkan Pasal 1337 KUHPer.

Contoh lainperjanjian tidak halal adalah milik beding, yaituperjanjian yang berisi syarat: apabila debitur melakukan wanprestasi, barang jaminan atau agunan jatuh menjadi milik kreditur. Perjanjian milik beding dengan tegas dilarang pada Pasal 12 Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 yang berbunyi: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum”.

Berdasarkan ketentuan ini, apabila gugatan yang diajukan bertitik tolak dari dalil milik beding yang menuntut penyerahan hak pemilikkan atas tanah jaminan, gugatan tersebut dianggap tidak mempunyai dasar hukum atau dasar dalil gugatan bertitik tolak dari larangan hukum atau Undang – Undang. Hal itu ditegaskan oleh Z. Asikin Kusuma Atmadja dalam catatan terhadap Putusan Mahkamah Agung No.  3438 KPdt/1985 tanggal 9 Desember 1987, antara lain menyatakan:

“……suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan sebidang tanah tidak dapat dengan begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah, manakala se debitur tidak melunasi utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama tidak diperkenankan, terutama dalam suasana hukum adat.”

3. Gugatan Ganti Rugi Atas Perbuatan Melawan Hukum


Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer mengenai Kesalahan Hakim Dalam Melaksanakan Fungsi Peradilan, dianggap tidak mempunyai dasar hukum penegasan tentang ini. Hal tersebut dijelaskan dalam Surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) antara lain mengatakan bahwa: 

  • Pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUHPer mengenai kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan atau apakah dapat dipertanggungjawabkan secara perdata atas kesalahan yang dilakukan hakim, tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, permasalahan ini, permasalahan ini perlu dikembangkan melalui yurisprudensi dan pendekatan ilmu hukum.
  • Dari segi pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya ketentuan Pasal 1365 KUHPer tidak dapat diterapkan kepada hakim yang salah dalam melaksanakan tugas bidang peradilan. Demikian juga negara, tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan hakim dalam melakukan fungsi peradilan.
  • Dari segi pendekatan yurisprudensi, antara lain dapat dikemukakan Putusan HIR, 3 Desember 1971, M/1972, 137 yang mengatakan, terhadap putusan hakim, undang-undang telah menyediakan sarana hukum (rechts middelen), sehingga undang-undang secara tuntas telah memberi perlindungan kepada pihak – pihak yang berkepentingan untuk membela haknya (melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali) untuk memperoleh putusan hakim yang tepat. Sehubungan dengan itu, tidak dapat dibenarkan adanya kemungkinan bagi pihak yang telah mempergunakan segala sarana hukum yang tersedia, namun tidak berhasil dalam gugatan untuk menggugat negara berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, karena hal seperti itu menjadikan putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap, menjadi sasaran sengketa.
  • Begitu juga dari segi pendekatan independensi peradilan (Judicial independency), the judges are acts committed in the exercise of judicial finction.
Dalam SEMA tersebut juga dikemukakan perbandingan hukum (comperative law) dari beberapa negara, antara lain:

  • Pakistan menegaskan, In Pakistan no jugdge is liable in a civil action for anything done in good faith;
  • Amerika Serikat menjelaskan, hakim mempunyai kekebalan (immunity) terhadap gugatan ganti rugi walaupun terhadap tindakan yang dianggap mengenai perbuatan tidak dengan itikad baik atau secara kolektif sifatnya;
  • Malaysia mengatur tentang hal ini di dalam section 14 Courts of Judicature Act 1969 yang berisi ketentuan antara lain: seorang hakim tidak dapat dipertanggungjawabkan dan digugat dalam pengadilan secara perdata atas suatu tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan tersebut melampaui batas wewenang.

4. Dalil Gugatan Yang Tidak Berdasarkan Sengketa


Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu kasus. Penggugat sebagai debitur mengajukan gugatan kepada kreditur yang berisi dalil agar kreditur memberi penetapan kepastian berapa jumlah utangnya dengan alasan untuk menghindari terjadinya pembayaran yang tidak diwajibkan (onverschuldige betaling). Terhadap gugatan ini, Mahkamah Agung mempertimbangkan: Gugatan diajukan tanpa didasari adanya persengketaan mengenai jumlah utang. Penggugat sebagai debitur, pada dasarnya dibebani kewajiban untuk membayar utang dan tidak mempunyai hak terhadap kreditur. Untuk mengajukan gugatan dalam hubungan kewajiban hak antara kedua belah pihak, baru dapat dibenarkan secara hukum apabila telah timbul atau telah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh pihak lain.

Suatu gugatan tidak didasarkan pada suatu sengketa seperti dalam kasus tersebut di atas, disebut juga tidak memenuhi syarat materiil gugatan. Hal itu dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung yang menegaskan: Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan pengadilan adalah adanya perselisihan hukum (sengketa hukum) antara kedua belah pihak.

5. Tuntutan Ganti Rugi Atas Sesuatu Hasil Yang Tidak Dirinci Berdasarkan Fakta


Tentang hal ini, dapat dikemukakan Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa karena gugatan tidak memberikan dasar dan alasan dalam arti gugatan tidak menjelaskan berapa hasil sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak yang tersebut dalam petitum dianggap sebagai gugatan yang tidak jelas dasar hukumnya.

Akan tetapi, penerapan hal ini tidak boleh terlampau ketat (kaku). Oleh karena itu perlu dilihat Putusan Mahkamah Agung yang lain yang memberikan pertimbangan bahwa dalil pokok adalah mengenai tuntutan pembagian keuntungan yang menjadi hak penggugat. Oleh karena keuntungan tersebut tidak dirinci dalam gugatan sehingga tidak jelas dan tidak pasti berapa jumlah keuntungan yang menjadi hak penggugat. Oleh karena itu gugatan mengandung cacat formil, dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Namun demikian, meskipun hal itu tidak dirinci dalam gugatan, akan tetapi di dalam persidangan penggugat mampu merinci berdasarkan pembuktian, kelalaian perincian dalam gugatan dapat ditolerir, sehingga hilang cacat formilnya.

6. Dalil Gugatan Yang Saling Bertentangan


Dalil gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil lainnya, dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai landasan dasar hukum yang jelas. Kasus yang demikian ditegaskan dalam salah satu Putusan Mahkamah Agung yang memberikan pertimbangan bahwa dalil gugatan penggugat menyebut penggugat sebagai penyewa, dan dalam kedudukan dan kapasitas yang demikian penggugat menggugat pemilik agar Pengadilan Negeri menyatakan penggugat sebagai pemilik dengan alasan kadaluarsa, oleh karena itu berhak mengajukan hak pakai. Gugatan yang seperti ini tidak mempunyai dasar hukum karena antara dalil yang satu dengan dalil yang lain saling bertentangan.

7. Hak Atas Objek Gugatan Tidak Jelas


Dalil gugatan tidak menegaskan secara jelas dan pasti hak penggugat atas objek yang disengketakan, dianggap tidak memenuhi syarat dan dinyatakan tidak sempurna. Sebagai contoh dapat dikemukakan Putusan Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwasuatu gugatan dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak sempurna apabila hak penggugat atas tanah yang disengketakan tidak jelas. Dalah hal ini tidak jelas hubungan hukum penggugat dengan barang yang menjadi objek sengketa, sedang seharusnya mesti dijelaskan apakah sebagai pemilik, penyewa, atau pemakai.

Demikian gambaran berbagai klasifikasi gugatan yang tidak mempunyai dasar hukumnya. Namun perlu diingat. Gambaran di atas belum meliputi segala permasalahan, masih dapat diperluas dengan berbagai permasalahan lain.
______________________
  • Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting, Edisi II, MA RI, Jakarta 1992
  • Himpunan Sema Dan PERMA Tahun 1951-1997, MA, 1999, hal. 335
  • Rangkuman Yurisprudensi MA, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, MA RI, hal. 195
  • Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
  • Putusan MA Nomor 3133 K/Pdt/1983
  • Putusan MA Nomor 1085 K/Pdt/1984
  • Putusan MA Nomor 2472 K/Pdt/1984
  • Putusan MA Nomor 995 K/Sip/1975
  • Putusan MA Nomor 4 K/Sip/1958
  • Putusan MA Nomor 616 K/Sip/1973
  • Putusan MA Nomor 873 K/Sip/1975
  • Putusan MA Nomor 3097 K/Sip/1987
  • Putusan MA Nomor 565 K/Sip/1974
  • SEMA No. 09 Tahun 1976

0 komentar: