Penerapan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Perburuhan (PHI)

Monday 2 April 2018

Penerapan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Perburuhan (PHI)

Penerapan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Perkara PHI

Dalam penyelesaian perkara hubungan industrial pada Pengadilan Hubungan Industrial baik pada Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung yang menggunakan hukum acara perdata adalah tidak dibangun atas hubungan yang spesifik antara pengusha dan pekerja yakni hubungan yang subordinat melainkan dibangun atas hubungan keperdataan yang seimbang.

Konsekuensi dari hal tersebut berkenaan dengan beban pembuktian dalam perkara PHI juga harus berpedoman pada hukum acara perdata, karena dalam hal beban pembuktian Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengaturnya.

Dalam hal acara perdata, beban pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR / 283 RBg / 1865 BW yang mengatur: “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”

Selain ketentuan di atas ada ketentuan khusus yang lebih tegas dari pada ketentuan Pasal 163 HIR / Pasal 283 RBg / 1863 BW antara lain:

Pasal 533 BW: “Orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan iktikad baiknya. Siapa yang mengemukakan adanya itikad buruk harus membuktikannya.”

Pasal 535 BW: “Kalau seseorang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain, maka dianggap meneruskan penguasaan tersebut, kecuali apabila terbukti sebaliknya".

Pasal “Kreditur dibebaskan dari pembuktian kesalahan dari debitur dalam hal adanya wanprestasi.”

Di luar ketentuan-ketentuan khusus yang di antaranya disebutkan di atas, hakim hanya berpedoman pada
azas umum yang tercantum dalam Pasal 163 HIR / Pasal 283 RBg / 1863 BW. Dalam praktik peradilan Pasal 163 HIR / Pasal 283 RBg / 1863 BW oleh hakim telah dilakukan penafsiran bahwa resiko dalam beban pembuktian harus dilakukan adil dan tidak sebelah, artinya resiko pembuktian harus dibebankan kepada yang lebih mampu untuk membuktikannya.

Dalam hal penerapan prinsip keadilan dalam resiko pembuktian tersebut R. Subekti mengutip pendapat Malikul Adil dalam bukunya “Pembaharuan Hukum Acara Perdata Kita” sebagai berikut: 


“Hukum yang insyaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif tidak akan membebankan suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan. Dan penetapan beban pembuktian itu akhirnya banyak tergantung pada keadaan in conkreto. Dalam Hukum Acara Perdata, resiko beban pembuktian masih ditentukan oleh hakim berdasar prinsip keadilan.”

Beban pembuktian terhadap anggota direksi perseroan diatur dalam pasal 83 ayat (3), Pasal 90 ayat (20) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentan Perseroan Terbatas. Terhadap penanggung jawab usaha diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan terhadap prosedur diatur dalam pasal 19 dan 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pencantuman beban pembuktian tersebut dalam ketiga undang-undang tersebut didasarkan atas prinsip keadilan yaitu siapa yang paling mungkin dibebankan pembuktian.

Dalam UU No. 2 Tahun 2004 tidak ada ketentuan dalam hal apa saja yang beban pembuktiannya dibebankan kepada pengusaha. Seharusnya UU PPHI ke depan mengikuti ketiga undang-undang tersebut, karena hubungan antara para pihak yang berselisih dalam perkara perburuhan perseroan terbatas, lingkungan hidup dan konsumen mempunyai kesamaan karakter yaitu tidak seimbangnya hubungan para pihak yang berselisih dan dalam perkara hubungan industrial terdapat bukti-bukti yang tidak mungkin atau kemungkinan besar ada pada pengusaha.

Perkembangan Beban Pembuktian Terbalik


Perkembangan beban
Pembuktian Terbalik (pembalikan beban pembuktian) merupakan perkembangan hukum pembuktian yang telah diterapkan oleh International Labor Organization (ILO) dan negara lain, antara lain di Singapura. Di Indonesia beban pembuktian terbalik telah diterapkan dalam hukum Perseroan Terbatas yaitu terhadap anggota direksi dan komisaris yang melakukan kesalahan atau kelalaian, hukum lingkungan hiidup yaitu terhadap penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan yang usaha merusak lingkungan, hukum Angkutan Udara Nasional Konsumen yaitu terhadap pelaku usaha (produsen) yang merugikan konsumen. Keempat bidang hukum tersebut mempunyai kesamaan dalam hubungan antar pihak yaitu hubungan yang tidak seimbang. Dalam hukum pidana juga telah terjadi perkembangan serupa antara lain dalam bidang tindak pidana korupsi.

Perkembangan penerapan beban pembuktian terbalik di Eropa pada tahun 2005 diawali oleh sebuah lembaga European Group on Tort Law (EGTL) dalam rangka usaha untuk mengaharmoniskan dan menyatukan prinsip-prinsip tort of law di Eropa, telah mengeluarkan Principles of Tort Eueropean Tort law (PETL) yang diatur dalam bagian 2 Bab 4 PETL yaitu mengenai adanya kerusakan yang luas dari suatu aktifitas usaha (ultra hazardous activity) dan adanya cacat produk, sebagai berikut:
 
Artikel 4 : 201: Reversal of the burden of proving  fault in general

  1. The burden of the proving fault may be reversed in the light of the gravity of the danger presented by the activity.
  2. The gravity of the danger is determined according to the seriousness of possible damage in such cases as well as the likelihood that such damage might actually occur.
Artikel 4 : 202:  Enterprise Liability

  1. A person pursuing a lasting enterprise for economic or professional purposes who uses auxiliaries or technical equipment is liable for any harm caused by a defect of such enterprise or of its output unless he proves that he has conformed to the reguired standard of conduct.
  2. “Defects” is any deviation from standars theare reasonably to be expected from the enterprise or from its products or services.
  3. Artikel 2 : 102: Proof of damage. Damage must be proved according to normal procedural standars. The court may estimate the extent of the damage where proof of the exact amount would be too difficult or too costly.
Dalam bidang hukum pidana tindak pidana korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Konvensi mengenai anti korupsi 2003 [United Nations Convetion Against Cuurruption (NCAL), 2003] yang telah diratifikasikan dengan undang-undang No. 7 Tahun 2006 dan mengenai penerapan beban pembuktian terbalik ditunjukan terhadap pembekuan, perampasan dan penyitaan dari pelaku tindak pidana korupsi yang secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf (b) Konvensi Anti Korupsi 2003 sebagai berikut:

  1. Artikel 31: 8 States Parties May Consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings”.
  2. Artikel 53 : b  “Each state party shall,in accordance with its domestic law: take such measures as may be necessary to permit its courts to order those who have committed offences established in accordance with this Convention to pay compensation or damages to another state party that has been harmed by such offences. 
Dalam bidang hukum perburuhan, ILO telah mengeluarkan standar perburuhan internasional (International Labour Standard/ILS) dalam bentuk Konvensi maupun rekomendasi untuk diterapkan beban pembuktian terbalik dalam perkara tertentu antara lain:

Pembuktian terbalik dalam Perkara Pemutusan Hubungan Kerja Konvensi ILO 158, tentang Pemutusan Hubungan Kerja telah diatur dalam artikel 9:2 sebagai berikut:

“In order for the worker not to have to bear alone the burden of proving that the termination was not justified,the methods of implementation referred to in Article 1 of this Convention shall provide for one or the other or both of the following possibilities :

a) The burden of proving the existence of a valid reason for the termination as defined in Article 4 of this Convention shall rest on the employer;

b) The bodies referred to in Article 8 of this Convetion shall be empowered to reach a conclusion on the reason for the termination having regard to the evidence provided by the parties and according to procedures   provided for by national law and practice.

Kententuan diatas Kemudian oleh ILO sesuai hasil Penelitian Umum ILO mengenai Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja dan Rekomendasi No. 166, 1982 mengenai Perlindungan Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Yang Tidak Sah mempertegas diberlakukannya penerapan beban pembuktian terbalik.

Dalam konteks lingkungan, sistem strict liability diterapkan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas (extra hazardous activities).

Dalam bergaining position pekerja yang lebih lemah dari penguasa berakibat lemahnya bukti-bukti hukum yang dikuasi oleh pekerja, sementara sebagimana diuraikan di atas prinsip beban pembuktian dalam hukum acara perdata masing-masing pihak (Penggugat/Tergugat) mempunyai kedudukan yang sama. Disinilah letak penting permasalahan sehingga diperlukan pemikiran guna ditemukan sistem beban pembuktian yang adil bagi para pihak. Hal ini mengingat International Labor Standard ILO sebagaimana dikemukakan di muka telah menerapkan beban pembuktian terbalik dalam perkara Pemutusan Hubungan Kerja, kebebasan berserikat dan diskriminasi.

Penerapan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Putusan PHI

Sekalipun hukum acara yang berlaku di pengadilan Hubungan Industrial tidak diatur mengenai beban pembuktian terbalik kecuali dalam Pasal 90 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 memberi wewenang hakim memangil saksi guna membuka buku perusahaan, namun dalam praktek Pengadilan Hubungan Indutrial telah memberi putusan berdasarekan prinsip beban pembuktian yang terbalik yang di atur oleh ILO maupun prinsip beban pembuktian para pihak secara seimbang dan patut yang terjadi dalam praktek peradilan.

Berikut ini beberapa contoh dalam putusan atau penetapan pengadilan PHI maupun Mahkamah Agung sebagai berikut:

a. Penetapan pengadilan PHI Gorontalo No. 02/G/2009/PHI.GTLO tanggal 29 Mei 2009 dalam perkara antara Marjusman Hasan VS PT. BPR Mega Zanur.

Majelis hakim dalam pertimbangan penetapan memberi pertimbanagan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa, dari pembuktian yang dilakukan, untuk mendapat keterangan yang lebih mendalam mengenai
Upah Pekerja Dan Pembagian Jasa Produksi maka majelis hakim memandang perlu untuk memeriksa buku upah perusahaan tahun 2007 dan pembukuan keutungan perusahaan serta mendengarkan para saksi petugas pembukuan perusaan.”

Berdasarkan pertimbangan diatas majelis hakim memerintahkan kepada juru Sita untuk memanggil bagian pembukuan BPR Mega Zanur. Dengan membawa buku-buku yang berkaitan dengan upah tahun 2007 dan keuntungan perusahaan pada persidangan hari Jumat tanggal 5 Juni 2009

Dari contoh penetapan tersebut hakim PHI wajib mengeluarkan penetapan untuk memanggil saksi perusahaan guna didengar keterangan di persidangan apabila dalam perkara yang ditangani bukti-bukti tidak lengkap.
 
b. Putusan Pengadilan PHI Samarinda No. 38/G/2011/PHI. SMDA tanggal 17 Januari 2012 dalam perkara antara Wasini VS PT. Makmur Abadi Permai.

Majellis hakim dalam pertimbangan uang cuti tahunan memberikan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa berdasarkan Teori / Doktrin Hukum Acara dalam asas Audi et alterem partem maka pembuktian dibebankan kepada para pihak secara seimbang atau patut (Vide: Prof. Dr. Sudukno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia edisi delapan Penerbit LIBERTY Yogyakarta hal 148), untuk mana Pembuktian dibebankan pada pihak yang lebih mampu untuk membuktikannya;


Bahwa Tergugat memiliki
kuasa yang absolud atas pengelolaan administrasi dan kepersonaliaan perusahaannya dibanding Penggugat membuktikan dalil gugatannya khusus mengenai hak cuti tersebut, bila mana Tergugat tidak mampu membuktikan dalil bantahannya, maka dalil gugatan  Penggugat dianggap benar.

Menimbang, bahwa berdasarkan Uraian diatas Majelis menyatakan Penggugat berhak atas Uang Penggatian Hak Cuti.”

Kaidah hukum dari putusan ini adalah bahwa bukti-bukti yang secara absolute dipegang/dikelola oleh Penggusaha maka beban pembuktian ada pada Pengusaha.
 
c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 408 K/PDT.SUS/2011 Taggal 13 Juli 20111 dalam perkara Tomy Tamtati VS PT.Garuda Indonesia (Persero).

Majelis Hakim kasasi dalam pertimbangan mengenai beban pembuktian terbalik dalam kaitannya dengan perkara kebebesan berserikat sebagai berikut:

“Menimbang kententuan Pasal 153 ayat (1) a quo bahwa Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pemohon dilarang dan sesuai kententuan Pasal 153 ayat (2), serta tuntutan ex a quo et bono, beralasan Hukum Termohon harus memperkerjakan kembali hukum Pemohon, karena Termohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja bukan karena alasan kebebasan berserikat yang sesuai standar Perburuha International beban pembuktian dibabankan keapada pengusaha”.

Kaidah Hukum dari putusan ini adalah bahwa dalam perkara kebebasan berserikat sesuai Standar Perburuhan Internasional (Internitional Labor Standard) maka beban pembuktian pada pengusaha.
 
KESIMPULAN




Istilah – Istilah dalam Hukum Adat Lengkap Dengan Sumber
Manfaat Dan Pentingnya Mempelajari Hukum Adat
Salinan Sebagai Alat Bukti Serta Kekuatan Pembuktiannya 
Salinan Dan Fotokopi - Dua Alat Bukti Yang Berbeda Menurut Hukum, Kuat Mana?
Mengetahui Sumpah Konfirmator Dan Sumpah Promisor Dalam Hukum Acara Perdata

Beban pembuktian dalam praktek PHI selama ini mendasarakan pada Pasal 163HIR/183rbg/1865 BW yang pada prinsipnya siapa yang mendalilkan yang harus membuktikan.sementara dapat disimpulkan bahwa penerapan beban pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR/283rbg/1865BW tidak adil karena relasi antara pihak yang perkara yaitu pengusaha dengan pekerja tidak seimbang, sementara sistem beban pembuktian dalam hukum acara perdata dibangun atas relasi para pihak yang perkara dalam posisi seimbang.

Sampai saat ini penerapan beban pembuktian atas hal-hal sudah dilakukan di indonesia, yaitu dalam hukum perseroan terbatas, lingkungan hidup, konsumen dan angkutan udara. Beban pembuktian terbalik juga telah diakui oleh ILO yaitu antara lain Pasal 9 Konvensi ILO 158 tentang Pemutusan  Hubungan Kerja, paragraf 819 dan 830 Rekomendasi Komite Ahli ILO Kebebasan Berserikat, paragraf 230 dan 231 penelitian khusus mengenai kesetaraan dalam pekerjaan dan jabatan, serta di negara lain yaitu: Singapura Pasal 141 Peraturan Perburuhan Singapura, di Afrika Selatan Pasal 2000A dan 83A.


0 komentar: