Contoh Kontra Memori Kasasi Perkara Perburuhan [Recommended]

Tuesday 12 March 2019

Contoh Kontra Memori Kasasi Perkara Perburuhan [Recommended]

Contoh Memori Kasasi Perkara Perburuhan

KONTRA MEMORI KASASI

 ATAS MEMORI KASASI PT. SUMBER BAHAGIA METALINDO TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NOMOR. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.JKT.PST. TANGGAL 6 DESEMBER 2018.

ANTARA

 BURHANUDIN DAN  M. NURDIN.................. TERMOHON KASASI/PAR
A PENGGUGAT.
   
LAWAN

PT.  SUMBER BAHAGIA METALINDO….……………………… PEMOHON KASASI /TERGUGAT.

Jakarta, 22 Januari 2019

Kepada Yang Terhormat,
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Jl. Merdeka Utara No. 9-13
Jakarta Pusat.

Melalui
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Di. Jakarta.

Dengan hormat.

Yang bertanda tangan di bawah ini :

BURHANUDIN dan M. NURDIN beralamat yang sama di Jl. Tanjung Pura Kp. Koang RT. 003 / RW. 005 Kel. Pegadungan, Kec. Kalideres, Jakarta Barat, Dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Simon S.H., Sunarno S.H., Kodirin, Maman Nuriman, Carliyanto, Irman Bunawolo, Poniman, Supriyanto Moch. Ramlan dan Sobirin, semuanya Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Nusantara (PP-FSBN) yang beralamat di Jalan Daan Mogot KM 19, 8 No. 98, RT. 006/ RW. 001, Kel. Kebon Besar, Kec. Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus terlampir, Untuk selanjutnya disebut sebagai……………PARA PEMOHON KASASI/ PARA PENGUGAT.

Dengan ini Para Termohon mengajukan Kontra Memori Kasasi Atas Memori Kasasi PT. SUMBER BAHAGIA METALINDO terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (selanjutnya disebut Judex Factie) NOMOR. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.JKT.PST. tanggal 6 DESEMBER 2018 yang amar putusannya sebagai berikut:

MENGADILI

DALAM KONVENSI

DALAM PROVISI
- Menolak tuntutan Provisi Para Penggugat untuk seluruhnya;

DALAM EKSEPSI
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menghukum tergugat untuk membayar kepada Para Penggugat yang jumlah keseluruhannya sebesar = Rp. 49.713.350,- (Empat puluh sembilan juta tujuh ratus tiga belas ribu tiga ratus lima puluh rupiah) dengan perincian untuk masing-masing Penggugat sebagai berikut;
- Penggugat 1 (Burhanudin), berupa uang penghargaan masa kerja dan uang pisah yang keseluruhannya berjumlah Rp. 11.620.750,- (Sebelas  juta enam ratus dua puluh ribu tujuh ratus lima puluh rupiah);
- Penggugat 2 (M. Nurdin) berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pisah yang keseluruhannya berjumlah Rp. 38.092.600,- (Tiga puluh delapan juta sembilan puluh dua ribu enam ratus rupiah);
3. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya;

DALAM REKONVENSI
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/ Tergugat Konvensi untuk seluruhnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI
- Membebankan biaya perkara kepada penggugat konvensi yang keseluruhannya sebesar Rp. 716.000,- (Tujuh ratus enam belas ribu rupiah);

PENGANTAR

Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yang Mulia Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus perkara ini pada Tingkat Kasasi, sebelum para Termohon menyampaikan hal-hal yang menjadi bantahan atas keberatan-keberatan pemohon dan hal – hal lain mengenai perkara a quo, perkenankan Para Termohon mengucapkan selamat menjalankan aktifitas yang sungguh mulia, kiranya Tuhan Yang Kuasa memberikan kekuatan dan keberanian kepada Bapak/Ibu untuk melawan setiap praktek – praktek yang dapat memperburuk citra lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kiranya melalui putusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dapat mewujudkan cita-cita adil – sejahtera bagi setiap Warga Negara Indonesia, amin.

PARA TERMOHON PERLU MENEGASKAN BAHWA UPAYA HUKUM INI BERAKAR PADA NIAT YANG TULUS UNTUK MEMENANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN SERTA KEINGINAN YANG KUAT UNTUK MEMBUKTIKAN BAHWA PANDANGAN YANG MENILAI “PENEGAKKAN HUKUM DI NEGERI INI BOBROK” 100% ADALAH PENILAIAN YANG SALAH. Oleh karena itu Para Termohon tidak ragu-ragu menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/Pn.Jkt.Pst. Tanggal 6 Desember 2018 bukanlah putusan yang sempurna. Para Termohon sepakat dengan Pemohon Kasasi dalam hal “Majelis Salah Menerapkan atau Melanggar Hukum Yang Berlaku” sepanjang hal itu bukan mengenai serta tidak didasarkan pada dalil-dalil keberatan pemohon, sebab dalil-dalil keberatan yang dikonstruksi oleh pemohon hanya bertujuan untuk membiaskan fakta serta mengelabui kebenaran hukum.

Pada bagian lain dalam kontra memori ini, Para Termohon akan menguraikan hal-hal yang menjadi kekeliruan hakim yang dapat membatalkan putusan a quo. Oleh sebab itu bersamaan dengan adanya permohonan kasasi ini dari Pemohon, Para termohon sekaligus memohon kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia kiranya MEMBACA DAN MEMPELAJARI KONTRA MEMORI KASASI INI SERTA DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIAJUKAN DALAM PARA PERKARA A QUO SECARA UTUH DAN BERKENAN MEMBERIKAN PERTIMBANGAN YANG LENGKAP SERTA MENJATUHKAN PUTUSAN YANG ADIL. Harapan  ini berangkat dari keprihatinan para pemohon dalam membaca putusan-putusan kasasi yang hanya memberikan pertimbangan seadanya, tidak utuh, yang pada banyak kasus sekedar melegitimasi dan menguatkan pertimbangan / putusan pengadilan tingkat pertama dan banding. Hal demikian menimbulkan kekhawatiran bagi Para Termohon akan terjadi hal yang sama dalam perkara a quo sehingga berpotensi menutup pintu keadilan bagi Para Termohon.

Yang Mulia ------------------------------------------------------------------------

Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini masih sebatas jargon. Sekilas tampak bahwa harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Lembaga peradilan banyak menuai kritik dari banyak pihak terutama masyarakat pencari keadilan, mulai dari masalah penanganan perkara perkara yang lamaban, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption), menjadi penyebab tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Dalam perjalanan panjang sejarah peradilan Indonesia, tidak sedikit praktik peradilan ternodai oleh bobroknya mental hakim (oknum). Integritas hakim menjadi dipertanyakan, karena tidak lagi mencerminkan gambaran karakter yang seharusnya melekat pada jiwa hakim sebagai penegak hukum, sebagaimana dilambangkan dalam Panca Dharma yaitu: Kartika, Cakra, Candra, Sari, dan Tirta.

Sepanjang paruh kedua tahun 2018 misalnya, insiden demi insiden melanda pengadilan dengan kasus-kasus tertangkaptangannya beberapa aparatur pengadilan yang diduga melakukan praktek mafia peradilan. Hanya dalam waktu singkat dampak buruk yang ditimbulkan luar biasa dahsyat. Kepercayaan masyarakat yang telah dibangun sedikit demi sedikit seolah-olah sirna begitu saja. Peristiwa-peristiwa tersebut seyogyanya menjadi renungan bagi seluruh penegak hukum sambil mencari akar masalahnya.

Berangkat dari sedikit refleksi di atas Termohon mendukung setiap langkah dan upaya Mahkamah Agung untuk mengembalikan marwah penegakan hukum yang bersih dan adil serta untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat/lembaga penegakan hukum adalah kerja keras semua pihak.

POKOK POKOK BANTAHAN ATAS DALIL KEBERATAN PEMOHON

Yang Mulia ------------------------------------------------------------------------

1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diatur sebagai berikut:

“Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi”

2. Bahwa dengan mangacu kepada ketentuan Pasal 47 ayat (3) tersebut, maka PARA TERMOHON KASASI/ PARA PENGGUGAT telah menerima salinan memori kasasi PEMOHON KASASI/TERGUGAT melalui Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangga XXXXXXXXXXXX dan menyampaikan kontra memori kasasi ini melalui kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarrta Pusat.

Dengan demikian kontra memori kasasi a quo diajukan oleh PARA TERMOHON KASASI / PARA PENGGUGAT masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

3. PARA TERMOHON KASASI/PARA PENGGUGAT kembali menegaskan bahwa bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/Pn.Jkt.Pst. Tanggal 6 Desember 2018 bukanlah putusan yang sempurna dan tanpa kesalahan namun hal itu sepanjang bukan mengenai serta tidak didasarkan pada dalil-dalil keberatan pemohon, sebab dalil-dalil keberatan yang dikonstruksi oleh pemohon hanya bertujuan untuk membiaskan fakta serta mengelabui kebenaran hukum.

4. PARA TERMOHON KASASI / PARA PENGGUGAT berpendapat bahwa permohonan kasasi yang diajukan PEMOHON KASASI / TERGUGAT hanya menjadikan upaya hukum sebagai upaya untuk mengulur waktu pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena selama ini tidak semua proses kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung adalah upaya hukum sesungguhnya dari pencari keadilan, namun kadang merupakan sebuah upaya dari para pihak saja untuk menunda-nunda atau mengulur-ulur serta menghindari kewajiban untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.

5. Perlu pula Para Termohon menjelaskan bahwa pada prinsipnya Para Termohon memiliki keberatan-keberatan terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/Pn.Jkt.Pst. Tanggal 6 Desember 2018, bahkan terhadap putusan Judex Factie tersebut Para Termohon sempat mendaftarkan Permohonan Kasasi melalui Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun setelah diketahui bahwa Pemohon juga telah mendaftarkan kasasi, Para Termohon akhirnya memutuskan untuk mengutarakan keberatan-keberatan Para Termohon dalam kontra memori kasasi ini dengan alasan efisiensi dan demi sebuah proses yang lebih efektif.

6. Bahwa permohonan kasasi yang diajukan oleh PEMOHON KASASI / TERGUGAT tidak terdapat hal-hal yang baru yang menjadi dasar yang dapat dijadikan acuan sebagai pembuktian ataupun yang menjadikan landasan dalam mengajukan pertimbangan kasasi. Dalam artian, keberatan - keberatan yang diajukan oleh PEMOHON KASASI / TERGUGAT hanya mengulangi dalil-dalil yang telah disampaikan sebelumnya pada pengadilan tingkat pertama dan juga secara umum telah dibantah dan ditolak oleh Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama. Sehingga sepanjang mengenai dalil dalil keberatan Pemohon putusan a quo haruslah dinyatakan sebagai putusan yang telah tepat dan benar.

DALIL PEMOHON DALAM MEMORI KASASI HANYA MENGULANG FAKTA DALAM JUDEX FACTIE DAN PENILAIAN JUDEX FACTIE BERKAITAN DENGAN PEMBUKTIAN, OLEH KARENANYA HARUSLAH DITOLAK

7. Bahwa secara keseluhan yang menjadi pokok keberatan Pemohon dapat dilihat pada memori kasasi tanggal 7 Januari 2019 pada halaman 4 Pemohon mengungkapkan:

“Judex Factie telah melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, sehingga mengakibatkan cacatnya persidangan perkara a quo, dimana Judex Factie telah melakukan pelanggaran Hukum Acara akibat SELURUH BUKTI YANG DIAJUKAN OLEH PARA PENGGUGAT / TERMOHON KASASI TELAH DITERIMA JUDEX FACTIE padahal selain melekat unsur nebis in idem juga telah mengabaikan isi Putusan Perkara PHI No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 25 September 2014 jo Putusan Pidana No. 2126/PID.B/2014/PN.TNG tertanggal 5 Agustus 2015 jo 124/PID/2015/PN.BTN Tertanggal 5 November 2015, jo 752/PID.B/2016 tertanggal 20 September 2016 (putusan pidana) jo UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Padahal Judex Factie perkara PHI No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 25 September 2014 dalam pertimbangan hukumnya jelas telah menentukan dan mensyaratkan untuk mengajukan bukti bukti baru dalam Gugatan a quo sebagaimana dikutip sebagai berikut:

Pertimbangan Hukum Judex Factie halaman 58 paragraf ke-dua:

[“Menimbang bahwa pertimbangan majelis hakim menyatakan kewajiban Para Penggugat menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap status penggugat. Apabila suatu saat putusan pidana tidak menyatakan Penggugat bersalah, maka putusan efektif sebagai bukti mengajukan gugatan baru. Majelsi hakim berpendapat bahwa menunggu proses pidana terkait Penggugat sampai selesai merupakan bagian dari proses menghormati prinsip praduga tidak bersalah (presumtion of innoncence)”]”

8. Bahwa dari kutipan dalil keberatan Pemohon di atas, dapat disimpulkan dengan jelas bahwa pokok dari keberatan Pemohon adalah: SELURUH BUKTI YANG DIAJUKAN OLEH PARA PENGGUGAT / TERMOHON KASASI JUDEX FACTIE. Oleh sebab itu, keberatan yang demikian tidak dapat diterima sehingga kasasi Pemohon haruslah dotolak. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 25 K/Sip/1957 tertanggal 18 September 1957 dalam perkara perdata antara Kongkoan atau Chineese Raad atau Dewan Tiongha melawan Boedha yang menyatakan: “Mahkamah Agung tidak dapat meninjau soal-soal pembuktian, oleh karena hal sesuatu terbukti atau tidak, tidaklah takluk pada pemeriksaan kasasi.”

Selain itu juga terdapat Putusan Mahkamah Agung republik Indonesia Nomor 104 K/Sip/1953 tanggal 6 Agustus 1953 yang pada pokonya menyatakan bahwa: “Keberatan-keberatan kasasi yang semata-mata mengenai soal pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi karena keberatan-keberatan tersebut tidak mengenai pelaksanaan hukum, tetapi mengenai penghargaan kenyataan (van feitelijken aard).

9. Bahwa menurut Para Termohon keliru memahami pertimbangan Judex Factie sebagaimana dikutip pada poin 7 di atas. Dalil Pemohon yang mengatakan bahwa Judex Factie pada NOMOR. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.JKT.PST. TANGGAL 6 DESEMBER 2018 telah melakukan pelanggaran hukum karena telah menerima bukti-bukti yang diajukan oleh Para Penggugat / Termohon. Dalil Pemohon didasarkan pada Pertimbangan Hukum pada halaman 58 paragraf ke-dua putusan Judex Factie No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 25 September 2014 yang pada intinya menyatakan:

Pertimbangan Hukum Judex Factie halaman 58 paragraf ke-dua:

[“Menimbang bahwa pertimbangan majelis hakim menyatakan kewajiban Para Penggugat menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap status penggugat. Apabila suatu saat putusan pidana tidak menyatakan Penggugat bersalah, maka putusan efektif sebagai bukti mengajukan gugatan baru. Majelis hakim berpendapat bahwa menunggu proses pidana terkait Penggugat sampai selesai merupakan bagian dari proses menghormati prinsip praduga tidak bersalah (presumtion of innoncence)”]”

Para Termohon meyakini bahwa dalil Pemohon yang demikian sangat keliru dan tidak ada korelasinya dengan kutipan pertimbangan Judex Factie perkara No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 25 September 2014. Selain itu, Judex Factie sudah tepat dan tidak menyalahi hukum karena telah menerima dan mempertimbangkan bukti – bukti yang diajukan oleh Para Termohon / Para Penggugat. Pada hal sudah jelas dalam pertimbangan Judex Factie No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 25 September 2014 menyebutkan bahwa setelah gugatan dapat diajukan kembali setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap mengenai pidana demi menghormati prinsip praduga tidak bersalah (presumtion of innoncence). Dengan demikian tepat dan tidak salah setelah adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, maka putusan pdana yang incracht tersebut beserta putusan Judex Factie Nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tertanggal 25 September 2014 diajukan sebagai bukti oleh Para Termohon / Para Penggugat.

10. Bahwa dari uraian Para Termohon pada poin 9 nyata bahwa keberatan-keberatan Pemohon tidak berdasar dan beralasan untuk dapat dipertimbangkan. Dalil keberatan Pemohon diulang-ulang dan membingungkan. Selain itu dalil Pemohon juga tidak tegas menyebutkan bukti-bukti mana saja yang menurut Pemohon tidak semestinya diterima oleh Judex Factie serta dapat mengancam gugurnya Putusan judex Factie.

Namun jika hal itu berkaitan dengan Putusan Perkara PHI No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tanggal 25 September 2014, Putusan Pidana No. 2126/PID.B/2014/PN.TNG tanggal 5 Agustus 2015 PUTUSAN 124/PID/2015/PN.BTN tanggal 5 November 2015, Putusan 752/PID.B/2016 tanggal 20 September 2016, maka bagaimana mungkin Pemohon berdalih bahwa Judex Factie telah melakukan pelanggaran hukum karena telah menerima bukti – buti terseut? Padahal faktanya, dalam persidangan pertama putusan-putusan tersebut juga diajukan sebagai alat bukti oleh Pemohon, yaitu:

- Putusan PHI Jakarta Pusat No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tanggal 25 September 2014 diajukan sebagai Bukti T-4 oleh Pemohon / Tergugat
- Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 2126/PID.B/2014/PN.TNG tanggal 5 Agustus 2015 diajukan sebagai Bukti T-5 oleh Pemohon / Tergugat
- Putusan MARI Nomor 752/PID.B/2016 tanggal 20 September 2016, diajukan sebagai Bukti T-6 oleh Pemohon / Tergugat

TENTANG NE BIS IN IDEM

11. Adalah tidak benar dan tidak terbukti dalil keberatan Pemohon yang menyatakan bahwa gugatan Para Termohon / Para Penggugat melekat unsur Ne Bis In Idem karena sebelum perkara ini sampai dengan saat ini, perkara a quo belum pernah memperoleh Putusan Pengadilan berkekuatan tetap. Justru sebaliknya, dari pertimbangan Judex Factie perkara  Putusan PHI Jakarta Pusat No. 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tanggal 25 September 2014 sebagaimana yang dikutip berulang-ulang oleh Pemohon nyata bahwa gugatan Para Termohon / Para Penggugat padanya tidak melekat Ne Bis In Idem. Hal ini diperkuat dengan Pendapat Judex Factie dalam Putusan Nomor 230/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.JKT.PST. Tanggal 6 Desember 2018 halaman 61 paragraf ke-3 s/d halaman 62 yang dikutip sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Tergugat lainnya, yaitu eksepsi yang menyatakan Gugatan a quo terbukti melekat unsur Ne bis In Idem, menurut Majelis Hakim, setelah melihat bukti P-8 dan T-4 berupa putusan Nomor: 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST yang amarnya berbunyi:

DALAM KONPENSI

DALAM EKSEPSI
Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA
Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk verklaard);

DALAM REKONPENSI
Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk verklaard);

DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI
Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah);

Maka amar yang demikian tidak menutup kemungkinan atau hak Para penggugat untuk mengajukan gugatan baru, sehingga gugatan Para Penggugat tidak Ne Bis In Idem.”

TENTANG PASAL 83 UU NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 

12. Adalah suatu tafsiran yang salah dan ngawur dalil keberatan Pemohon yang mengatakan bahwa Judex Factie melanggar pasal 83 UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI karena Putusan Nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tidak efektif sebagai alat bukti. Justru sebaliknya, apabila putusan nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tidak diajukan sebagai alat bukti, maka Para termohon / Para Penggugat tidak memiliki dasar untuk mengajukan gugatan dan gugatan Para Termohon / Para Penggugat berpotensi ditolak oleh Judex Factie . Artinya, putusan 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST sangat efektif dan menentukan terhadap perkara a quo.

13. Bahwa dalil dalam memori kasasi angka 2 halaman 5 yang pada pokoknya Pemohon mengatakan belum pernah ditempuh proses penyelesaian perkara perselisihan PHK dan belum pernah dilakukan mediasi adalah tidak benar. Para Penggugat telah menempuh proses bipartit dan mediasi  dan telah mendapat Anjuran dari Suku Dians Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan Surat Nomor 149/1.835 Perihal Anjuran tertanggal 28 Januari 2014 sebagaimana bukti P-2 dari para Termohon/Para Penggugat.

14. Bahwa dalil Pemohon dalam Memori Kasasi angka 3 halaman 6 yang mengatakan bahwa tindakan atau pertimbangan Judex Factie yang mengakomodir Bukti P-2 tersebut sangat dilarang atau tidak efektif dalam perkara aquo adalah salah. Yang jelas bahwa argumentasi Pemohon yang semacam itu adalah argumentasi kosong tanpa dasar.

15. Bahwa bukti P-2 tersebut jelas masih efektif dan berlaku sampai dengan adanya putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berkekuatan hukum tetap. Faktanya, sampai dengan upaya kasasi ini ditempuh di Mahkamah Agung, belum ada putusan pengadilan yang incracht terhadap perkara a quo atau yang membatalkan Anjuran tersebut dalam bukti P-2.

Jika dalil Pemohon tersebut dibangun atas logika bahwa setelah adanya putusan pidana yang icncracht Pemohon dan Termohon harus kembali menempuh bipartit dan mediasi, justru logika yang seperti ini SESAT! Argumentasinya adalah: bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Justru kalau itu terjadi maka akan mengakibatkan kerancuan karena akan menimbulkan ANJURAN yang ganda dan berpotensi tumpang tindih atau berkontradiktif.

Yang mesti ditekankan adalah: Putusan Judex Factie Nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST menolak gugatan Para Pemohon / Para Penggugat untuk diperiksa dalah rangka menghormati azas praduga tidak bersalah atas laporan pidana, dan TIDAK MEMBATALKAN segala produk proses hukum yang pernah ada (risalah-risalah dan anjuran).

Dengan demikian dalil dalil Pemohon dalam memori kasasi halaman 5 s/d halaman 7 haruslah ditolak karena dibangun atas logika atau cara berpikir yang sesat dan kabur.

TENTANG PASAL 82 UU NOMOR 2 TAHUN 2004

16. Adalah sesat dan tidak benar pendapat Pemohon/Tergugat yang menyatakan bahwa gugatan Para Penggugat bertentangan dengan pasal 82 UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

17. Bahwa Pemohon/Tergugat sepertinya kesulitan atau tidak mampu memahami rumusan Pasal 82 UU No 2 Tahun 2004 sehingga mengemukakan dalil yang keliru yang lahir tafsiran sesat terhadap Undang-Undang. Meski demikian Para Penggugat dapat membantu Tergugat agar dapat lebih mudah mengetahui bahwa logikanya atau dalilnya sesat.

Berikut ini adalah kutipan bunyi Pasal 82 UU No. 2 Tahun 2004:

"Gugatan oleh pekerja/ buruh atas pemutusan hubungan kerja  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha".  

Jelas-jelas bahwa pemutusan hubungan kerja antara Pemohon dan Termohon demi hukum terjadi setelah keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetep atas perkara pidana kepada Sdr. Pemohon Burhanudin Bin Naan yaitu  (P-11), bukan karena terbitnya skorsing sebagaimana dalil Pemohon.

Merujuk Pada Pasal 155 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi: “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”

Dari ketentuan tersebut nyata bahwa tindakan skorsing bukanlah PHK, melainkan sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan suatu PHK sah atau tidak.

18. Bahwa ketentuan Pasal 82 UU No 2 Tahun 2004 bukan merupakan pasal yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan. Oleh karena itu Para Penggugat akan mengutip bunyi dari Pasal 159 dan pasal 171 sebagai berikut:

Pasal 159 berbunyi : "Apabila pekerja/ buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial"

Pasal 171 berbunyi : "Pekerja/ buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya".

Sampai saat ini Pemohon belum pernah menyatakan PHK dan tidak pernah ada bukti adanya PHK melainkan hanya menjatuhkan skorsing. PHK Terjadi sebagai akibat hukum dari adanya Putusan Pidana yang berkekuatan hukum tetap terhadap Termohon Burhanudin, tetapi tidak terhadap M. Nurdin.

19. Bahwa dari ketentuan Pasal 151 dan Pasal 171 UU No 2 Tahun 2003 nyata bahwa batas waktu satu tahun untuk mengajukan gugatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 82 UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI adalah berhubungan dengan kesalahan berat yang sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang dikutip sebagai berikut;

Pasal 158

1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

20. Bahwa Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pemutusan hubunga kerja (PHK) akibat adanya alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat. Pasal ini telah dianulir dan dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan dengan Nomor. 12/PUU-I/2003 yang dalam salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 adalah perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP. Ketentuan pasal ini dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah, mengingat pasal ini telah memberikan dasar bagi pengusaha untuk melakukan PHK secara sepihak sebelum ada putusan pengadilan. Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI No. 012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005. Dalam Surat Edaran tersebut. Adapun isi dari Surat Edaran tersebut sebagai berikut:

"Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PW-l 1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember 2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakat, dipandang perlu menerbitkan Surat Edaran sebagai berikut;

1) Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (l) sepanjang mengenai anak kalimat ",..bulmn atas pengaduan pengusaha ",' Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat "...Pasal /,58 ayat (I)....",'Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat "...Pasal 158 ayat (l)..." Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat "...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (l)..."; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2) Sehubungan dengan hal tersebut butir I maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.

3) Sehubungan dengan hal tersebut butir I dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
(a) PENGUSAHA YANG AKAN MELAKUKAN PHK DENGAN ALASAN PEKERJA/BURUH MELAKUKAN KESALAHAN BERAT (EKS PASAL 158 AYAT (1), MAKA PHK DAPAT DILAKUKAN SETELAH ADA PUTUSAN HAKIM PIDANA YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP".

Berdasarkan ketentuan di atas maka patut dan layak bagi Judex Juris untuk menolak dalil keberatan Pemohon pada angka 14 halaman 8 s/d angka 20 halaman 9.

TERHADAP KEBERATAN KEBERATAN LAIN

21. Bahwa sebagaimana Pemohon menyatakan bahwa Judex Factie telah melakukan kesalahan karena memenuhi tuntutan uang penghargaan, uang pisah, dan uang pesangon kepada Para Termohon / Para Penggugat adalah salah, oleh karena itu haruslah ditolak karena putusan pidana hanya memberika kepastian hukum atas terbukti atau tidaknya suatu perbuatan pidana, BUKAN menghapus hak perdata para termoho.

22. Sebaliknya, justru Pemohon yang tidak mematuhi hukum karena tidak membayar hak yang semetinya diterima oleh para pemohon sepanjang skorsing sebagaimana ketentuan hukum Pasal 155 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003.

Maka oleh akrena itu para Termohon menolak dalil – dalil keberatan Pemohon selain dan seterunya, kecuali hal yang diakui kebenarannya oleh para Pemohon.

MOHON PUTUSAN YANG ADIL

23. Bahwa sebagaimana dalam bagian pengantar, para Pemohon telah menegaskan dengan jujur dan gentleman bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/Pn.Jkt.Pst. Tanggal 6 Desember 2018 bukanlah putusan yang sempurna. Para Termohon sepakat dengan Pemohon Kasasi dalam hal “Majelis Salah Menerapkan atau Melanggar Hukum Yang Berlaku” sepanjang hal itu bukan mengenai serta tidak didasarkan pada dalil-dalil keberatan pemohon, sebab dalil-dalil keberatan yang dikonstruksi oleh pemohon hanya bertujuan untuk membiaskan fakta serta mengelabui kebenaran hukum. Oleh karena itu demi rasa keadilan mohon kiranya kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Hakim Agung yang memeriksa perkara ini pada tingkat kasasi untuk membatalkan putusan Judex Factie dan menjatuhkan putusan yang adil sepanjang mengenai hal-hal yang akan diuraikan di bawha ini:

JUDEX FACTIE TELAH SALAH DALAM MENERAPKAN HUKUM DAN MELAMPAUI BATAS KEWENANGANNYA SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN.

24. Bahwa  Para Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan Hukum Judex Factie pada halaman 70 alinea ke 2 yang jadikan dasar sebagai putusannya, yang menyatakan;

Menimbang, bahwa terhadap penggugat 1 (Burhanudin) yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” dengan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 5 (lima) bulan yang telah dijalani oleh penggugat 1 (Burhanudin) maka berdasarkan ketentuan pasal 160 ayat (3) Undang-Undang No. 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 012/PUU-1/2003 tersebut diatas, maka Tergugat dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap penggugat 1 (Burhanudin) yang setelah 6 bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana,dan terhadap pemutusan hubungan kerja tersebut sesuai ayat (6) pasal 160 UU No.13 tahun 2003 tersebut diatas maka pemutusan hubungan kerja dilakukan TANPA PENETAPAN lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bahwa Pertimbangan Judex Factie tersebut adalah pertimbangan yang keliru, dengan alasan sebagai berikut;

25. Bahwa pasal 160 ayat (3 dan 6)) Undang-Undang No. 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 012/PUU-1/2003;

Pasal 160 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003.
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Pekerja/ Buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana”.

Pasal 160 ayat (6) UU No.13 Tahun 2003.
“Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan Tanpa Penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.

Dari ketentuan tersebut nyata bahwa PHK yang dapat dilakukan tanpa penetapan pengadilan hanya terhadap buruh yang terbukti tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan karena dalam proses perkara pidana. Faktanya, Sdr. Burhanudin tidak dapat melaksanakan pekerjaan bukan karena adanya proses pidana melainkan karena skorsing dari pemohon. Bahkan, skorsing yang dijatuhkan oleh Pemohon jauh sebelum proses pemeriksaan pidana baik di tingkat penyididkan maupun persidangan di pengadilan.

Dengan demikian Judex Factie terbukti telah keliru. SEMESTINYA SDR. BURHANUDIN MASIH DAPAT MELAKSANAKAN PEKERJAAN KARENA TIDAK DILAKUKAN PENAHANAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PIDANA, AKAN TETAP SDR. BURHANUDIN TIDAK MELAKUKAN PEKERJAAN KARENA MENJALANI SKORSING DARI PEMOHON.

26. Para pemohon keberatan dengan pertimbangan Judex Factie yang menyatakan “bahwa terhadap penggugat 1 (Burhanudin) yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” dengan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 5 (lima) bulan yang telah dijalani oleh penggugat 1 (Burhanudin) dst….”, 

Dalam pertimbangan tersebut dinyatakan karena sedang menjalani hukuman pidana penjara selama 5 (lima) bulan, sedangkan Pemohon Kasasi / Penggugat 1 (Burhanudin) tidak penjara atau tidak dilakukan penahanan sebagaimana yang dinyatakan oleh Judex Factie dalam pertimbangannya, baik sebelum maupun setelah adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.

27. Bahwa pengertian pasal 160 Undang-Undang No. 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah untuk atau bagi Pekerja/Buruh yang sedang ditahan penjara karena sedang dalam menjalankan proses pidana sedangkan Pemohon Kasasi Penggugat 1 (Burhanudin) tidak di penjara hanya melainkan sebagai tahanan kota dalam arti bisa melakukan pekerjaan seperti biasa akan tetapi Termohon kasasi/Tergugat tidak berkenan dan sangatlah Keliru jika Judex Factie mengguganakan pasal 160 Undang-Undang No. 13. Tahun 2003 sebagai dasar untuk memPHK Penggugat 1 (Burhanudin) dengan ketentuan pasal 156 ayat (3 dan 4) Undang-Undang No. 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

28. Bahwa  Para Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan Hukum Judex Factie pada halaman 70 alinea ke 3 yang jadikan dasar sebagai putusannya, yang menyatakan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangana tersebut diatas, maka majelis hakim berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja antara penggugat 1 (Burhanudin) dengan Tergugat adalah terhitung sejak tanggal 7 Mei 2014, yaitu terhitung sejak adanya laporan polisi Nomor. LP/470/XI/2014/PMJ/Rstro TNG/Sek.CPDH tanggal 7 mei 2014, terkait dugaan melakukan penipuan dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud pasal 378 dan pasal 372 KUHP;

Pertimbangan tersebut bertengan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

- Pasal 151 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003: “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
- Pasal 155 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU No 13 Tahun 2003

29. Jelas-jelas bahwa pemutusan hubungan kerja antara Pemohon dan Termohon demi hukum terjadi setelah keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetep atas perkara pidana kepada Sdr. Pemohon Burhanudin Bin Naan yaitu  (P-11), bukan karena terbitnya skorsing sebagaimana dalil Pemohon.

Merujuk Pada Pasal 155 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi: “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”

Dari ketentuan tersebut nyata bahwa tindakan skorsing bukanlah PHK, melainkan sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan suatu PHK sah atau tidak.

30. Bahwa Para Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan Hukum Judex Factie pada halaman 70 alinea ke 4 yang jadikan dasar sebagai putusannya, yang menyatakan;

Menimbang, bahwa demikian juga dikarenakan status hukum penggugat 2 (M. Nurdin) turut dipengaruhi oleh status hukum penggugat 1 (Burhanudin) dimana penggugat 2 (M. Nurdin) juga telah melakukan kesalahan yang sama seperti penggugat 1 (Burhanudin)  terkait dengan kesalahan berat yang dilakukan  para penggugat yakni melakukan penggelapan uang milik tergugat terkait dengan penerimaan uang kompemsasi PHK milik 8 orang pekerja sebagaimana dijelaskan pada butir 2 konsideran surat skorsing terhadap penggugat 2 (Vide Bukti P-4 = T-2, maka beralasan hukum karenanya berdasarkan keadilan dan kepatutan, majelis menyatakan PUTUS hubungan kerja antara penggugat 2 (M. Nurdin) dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 7 Mei 2014, yaitu terhitung sejak adanya laporan polisi terhadap penggugat 1 (Burhanudin)  Nomor. LP/470/XI/2014/PMJ/Rstro TNG/Sek.CPDH tanggal 7 mei 2014, terkait dugaan melakukan penipuan dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud pasal 378 dan pasal 372 KUHP;

Para Pemohon keberatan dengan Pertimbangan Judex Factie karena bertentangan dengan UU dan bertentangan dengan azas praduga tidak bersalah karena sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang final yang menyatakan Sdr. M. Nurdin telah terbukti bersalah dan melakukan tindak pidana. Hal tersebut dikarenakan:

a)Bahwa putusan pidana sebagaimana disebutkan di atas tidak berlaku dan tidak mengikat terhadap Penggugat II. Atau dalam arti lain:

b) Sdr.Penggugat II tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana sebab lahirnya surat skorsing terhadap Penggugat II.

c. Berdasarkan hukum Sdr. Penggugat II masih terikat hubungan kerja yang sah dengan Tergugat dan padanya masih melekat segala hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

31. Bahwa meskipun pada dasarnya Tergugat dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat I setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas suatu perbuatan tindak pidana (Putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003 jo Surat Edaran Menteri Tenaga kerja R.I  Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005). Namun hingga sampai saat ini Tergugat tidak pernah menyatakan/menetapkan/ memutuskan untuk menjatuhkan PHK kepada Penggugat I (BURHANUDIN). Pun dekimian hal nya dengan Penggugat II (M. NURDIN) yang tidak berhubungan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mengenai perbuatan pidana dan/atau tidak terbukti melakukan tindak pidana yang dimaksud di atas. Tetapi Tergugat hanya menjatuhkan sanksi berupa skorsing berdasarkan Surat Keputusan (SK) NO: 01/SK/SBM/X/2013, dan SK NO: 02/SK/SBM/X/2013, tanggal 7 Oktober 2013.

32. Dengan pertimbangan-pertimbangan dan dasar tersebut maka seharunya hubungan kerja antara Termohon 1 / Penggugat 1 an. Burhanudin dengan Pemohon Kasasi putus setelah adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetepa tanggal 20 September 2016, bukan sejak adanya skorsing tanggal 7 Oktober 2014.

33. Bahwa seharusnya oleh karena sampai dengan saat ini tidak atau belum pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan Termohon 2 / Penggugat 2 an. Sdr. M. Nurdin telah terbukti melakukan tindak pidana, maka Sdr. M. Nurdin masih terikat hubungan kerja dengan Penggugat. Sehingga dengan demikian PHK yang timbul dalam perkara a quo adalah PHK karena keinginan sepihak dari Pemohon sehingga pemohon harus membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Momorasa Kerja dan Uang Penggantian Hak Para Penggugat 2X Ketentuan Pasal 156 Ayat (2, 3 dan Ayat 4)

Berdasarkan Dasar Hukum dan Alasan-Alasan Hukum sebagaimana diuraikan Para Termohon Kasasi tersebut diatas, Mohon Majelis Hakim Agung Republik Indonesia (Judex Juris) dalam Mengadili Perkara ini berkenan memberi putusan dengan Amar Putusan sebagai berikut;

MEMUTUSKAN

- Menolak Permohonan Kasasi Yang Diajukan Oleh Para Pemohon Kasasi;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.JKT.PST. Tanggal 6 Desember 2018 yang dimohonkan Kasasi tersebut;

MENGADILI SENDIRI :

DALAM EKSEPSI

- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

DALAM PROVISI

1. Putusan sela Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tanggal 18 september 2014 dapat dilaksanakan.

2. Menghukum tergugat untuk melaksanakan Putusan sela Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tanggal 18 september 2014.

3. Menghukum tergugat untuk membayar upah kepada para penggugat sesuai dengan perhitungan atau amar dalam Putusan sela Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 94/PHI.G/2014/PN.JKT.PST tanggal 18 september 2014.

DALAM POKOK PERKARA

1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Putus hubungan kerja antara para penggugat dengan tergugat sejak dibacakannya putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Tanggal 6 Desember 2018 perkara Nomor. 230/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.JKT.PST.

3. Menghukum Tergugat untuk Membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Momorasa Kerja dan Uang Penggantian Hak Para Penggugat 2X Ketentuan Pasal 156 Ayat (2, 3 dan Ayat 4) Sebesar Rp. 205.566.829,- + THR Tahun 2014, 2015, 2016, 2017 dan Tahun 2018 Sebesar Rp. 30.490.172,- + Biaya Pendaftaran Gugatan, Biaya Fotocopy- Fotocopy  Dan Biaya Menghadiri Persidangan Serta Biaya Lain-Lain Sebesar Rp. 25.000.000,- Jumlah Keseluruhan = Rp. 261.057.001,-. Terbilang”  (Dua ratus enam puluh satu juta lima puluh tujuh ribu satu rupiah).

4. Menghukum Tergugat untuk membayarkan Uang Paksa (Dwangsom) sebesar Rp.250.000,- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah) setiap hari kepada masing masing penggugat sejak putusan dibacakan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum yang tetap atas perkara a quo.

5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini.

Atau;

Apabila Majelis Hakim Agung Berpendapat Lain, Mohon Putusan Yang Seadil-Adilnya (Ex Aequo Et Bono).

Hormat Kami

Tim Kuasa Para Pemohon


(Ditandatangani oleh masing-masing Kuasa)

3 komentar:

Haryanto said...

Saya pembaca setia blog ini dan banyak ilmu yang saya dpt dari sini yg saya terapkn buat perjuangan di serikat saya SPSI. Salam kenal mas saya buruh spare part di Bekasi.

Unknown said...

Mantap nih, ikut bagikan

Unknown said...

Ini kasus Burhan yang di Jakarta Berat ya bung?