Memahami Lebih Detil Formulasi Dan Sistematika Gugatan Yang Memenuhi Syarat Hukum

Sunday 18 November 2018

Memahami Lebih Detil Formulasi Dan Sistematika Gugatan Yang Memenuhi Syarat Hukum

Memahami Lebih Detil Formulasi Dan Sistematika Gugatan Yang Memenuhi Syarat Hukum 

Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian ini akan dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan. Syarat – syarat tersebut akan diuraikan secara berurutan sesuai dengan sisteatika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan.

Prof. Soepomo mengemukakan bahwa pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan (Soepomo, Hukum acara Perdata Pengadilan Negeri, 1993, hal. 24). Hal tersebut memang benar, akan tetapi sesuai dengan perkembangan praktik peradilan, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding. Oleh karena itu, tanpa mengurangi penjelasan Soepomo tersebut, akan diuraikan secara rinci hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan.

A. Ditujukan (Dialamatkan) kepada Pengadilan Negeri Sesuai dengan Kompetensi

Surat gugatan harus ditujukan dan dialamatkan kepada Pengadilan Ngeri sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, baik absolud maupun relatif. Nama Pengadilan Negeri yang dituju harus ditulis secara tegas dan jelas, sesuai dengan patokan kompetensi mengadili. Apabila gugatan tidak sesuai dengan kompetensi, maka dapat menyebabkan gugatan cacat formil karena “gugatan salah alamat”, ditujukan kepada Pengadilan yang tidak memiliki wewenang mengadili. Akibatnya, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkeverklaard).

B. Diberi Tanggal

Ketentuan Undang-undang menyebutkan bahwa surat gugatan harus mencantumkan tanggal. Begitu juga halnya jika gugatan dikaitkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUHPer tidak menyebutkan pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik-tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, pada dasarnya tidak pencatuman tanggal pada gugatan tidak diwajibkan. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, maka pencantuman tanggal tidak imperatif dan bahkan tidak merupakan syarat formil surat gugatan. Dengan demikian, kelalaian atas pencantuman tanggal tidak mengakibatkan surat gugatan mengandung cacat formil.
Namun demikian, sebaiknya tanggal harus dicantumkan dalam gugatan guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah penandatanganan surat gugatan yang berkaitan dengan tanggal pembuatan dan penandatanganan surat kuasa, segera dapat diselesaikan.

Menghadapi surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal dapat diselesaikan berdasarkan pada tanggal register perkara di kepaniteraan. Masalah ini perlu dipahami oleh semua pihak, baik penggugat, tergugat maupun pengadilan agar ditegakkan kepastian hukum bila mana terjadi masalah yang berkaitan langsung dengan gugatan. Jalan keluar yang paling tepat, pengadilan memerintahkan perbaikan gugatan dengan cara mencantumkan tanggal. Hal itu dapat dilakukan panitera pada saat surat gugatan diajukan atau oleh hakim dalam persidangan, terutama pada sidang pertama. Perbaikan tanggal surat gugatan tidak bertentangan dengan hukum. Atau dengan kata lain, perbaikan atau penambahan tanggal tersebut tidak dapat dianggap dan dikualifikasi mengubah materi gugatan.

C. Ditandatangani Penggugat Atau Kuasa

Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan. Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan surat gugatan harus dimasukan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif, dan dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (kuasanya).

a. Tanda Tangan Ditulis Dengan Tangan Sendiri

Yang dimaksud dengan tanda tangan (handtekening, signature) pada umumnya merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penandatangan. Penandatanganan dapat dilakukan oleh penggugat sendiri atau kuasanya, asal pada saat gugatan ditandatangani lebih dahulu telah dibuat dan diberikan surat kuasa khusus.

b. Cap Jempol Disamakan Dengan Tanda Tangan Berdasarkan St. 1919-776

Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat membubuhkan cap jempol di atas surat gugatan sebagai pengganti tanda tangan. Menurut St. 1919-776, cap jempol (ibu jari) tangan disamakan dengan tanda tangan (handtekening). Akan tetapi agar benar-benar sah sebagai tanda tangan, harus dipenuhi syarat, yaitu, cap jempol tersebut harus dilegalisasi oelh pejabat yang berwenang (camat, hakim atau panitera)

Mengenai penerapan legalisasi dalam praktek peradilan pada dasarnya dianggap sebagai syarat yang imperatif atas keabsahan cap jempol. Namun syarat imperatifnya sedikit dikurangi atau diperlunak (flexible) Dalam hal hakim menemukan cap jempol yang belum dilegalisasi dalam gugatan, tidak lantas hakim langsung menyatakan gugatan cacat formil dengan alasan cap jempol belum dilegalisisr, tetapi hakim menyuruh atau memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk melegalisirnya.

Penerapan yang seperti itu dapat dilihat dalam salah satu Putusan Mahkamah Agung yang mempertimbangkan: Cap jempol yang tidak dilegalisir tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi hukum, tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisirnya.

D. Identitas Para Pihak

Penyebutan identitas dalam gugatan merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebutkan identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat menyebkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Tentang penyebutan identitas dalam gugatan sangat sederhana sekali dan tidak seperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP yang meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Identitas yang harus disebutkan dalamsurat gugatan tidak seluas itu. Bertitik-tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus disebutkan dalam surat gugatan cukup memadai sebagai dasar menampaikan surat panggilan atau pemberitahuan. Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikannya panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebutkan cukup meliputi nama lengkap dan alamat serta identitas lain yang tidak mengandung syarat imperatif (bila dianggap perlu)

a. Nama Lengkap 

- Nama Terang Atau Nama Lengkap Harus Jelas

Nama terang atau nama lengkap harus ditulis secara tegas dan jelas, termasuk gelar atau alias jika ada. Maksud pencantuman gelar atau alias adalah untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain yang kebetulan yang kebetulan namanya sama pada lingkungan temapat tinggal.

Kekeliruan penyebutan nama yang serius dan menyimpang dari yang semestinya sehingga benar-benar mengubah identitas, dianggap melanggar syarat formil yang mengakibatkan gugatan cacat formil. Dalam hal seperti ini, timbul ketidakpastian mengenai orang atau pihak yang berperkara, sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan gugatan error in persona atau obscuur libel, dalam arti orang yang digugat kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Penulisan nama tidak boleh didekati secara sempit atau kaku (Strict Law) tetapi harus dengan lentur (Flexible). Apabila kekeliruan itu sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolerir. Misalnya kesalahan menulis “A” menjadi “O” dapat dikategorikan sebagai kesalahan pengetikan (clerical error). Oleh karena itu, kesalahan dimaksud dapat diperbaiki oleh Penggugat dalam persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik (balasan atas jawaban tergugat). Bahkan hakim sendiri dapat memperbaiki dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan.

- Penulisan Nama Perseoran Harus Lengkap Dan Jelas

Sama halnya dengan penulisan nama orang, penulisan korporasi atau badan hukum (legal entity) harus lengkap dan jelas sesuai dengan nama sesungguhnya berdasarkan nama yang disebutkan dalam Anggaran Dasar atau yang tercantum pada papan nama maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan. Biasanya, selain menulis nama lengkap perseroan, ditulis juga nama singkatan sebagaimana yang disebutkan dalam Anggaran Dasar atau papan nama.

b. Alamat Atau Tempat Tinggal

 

Identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat tinggal tergugat atau para pihak. Menurut hukum, yang dimaksud dengan alamat meliputi: alamat kediaman pokok. Bisa juga alamat kediaman tambahan atau tempat tinggal real. Pokoknya didsarkan pada asas yang bersangkutan secara nyata bertempat tinggal.

- Sumber Keabsahan Alamat

Terdapat beberapa sumber dokumen atau akta yang dapat dijadikan sumber alamat yang legal, antara lain dapat diambil dari Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Keluarga (KK) bagi perseorangan, dan dari NPWP, Anggaran Dasar Izin Usaha atau Papan Nama bagi perseroan (legal entity).

- Perubahan Alamat Tergugat Sesudah Gugatan Diajukan


Apabila terjadi perubahan alamat tergugat sesudah gugatan diajukan oleh penggugat sehingga alamat yang disebutkan di dalam gugatan berbeda dengan tempat tinggal real tergugat tidak mengakibatkan gugatan cacat formil serta tidak mengurangi keabsahan gugatan. Oleh karena itu, tergugat tidak dapat menjadikan hal itu sebagai dasar bantahan atau eksepsi agar gugatan dinyatakan salah alamat, atau untuk dijadikan dasar alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkeverklaard).

Rasio yang terkandung dalam penerapan yang dijelaskan di atas adalah untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari tergugat. Sebab kalau perubahan alamat sesudah gugatan diajukan dibenarkan dan dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan gugatan cacat formil, perubahan itu akan dimanfaatkan tergugat yang beritikad buruk untuk melumpuhkan dan mempermainkan penggugat dan peradilan. Hal itu dapat saja dilakukan oleh tergugat dengan buru-buru pindah tempat atau mengubah alamat setelah penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

- Alamat Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui

Apabila alamat tergugat tidak diketahui tidak menjadikan hambatan bagi penggugat untuk mengajukan gugatan. Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi kemungkinan tersebut dalam bentuk panggilan umum oleh Wali Kota atau Bupati. Hukum tidak boleh mematikan hak perdata sesorang untuk menggugat orang lain hanya atas alasan tidak diketahui tempat tinggal tergugat. Penegakkan hukum yang seperti itu bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan. Sehubungan dengan itu, apabila penggugat dihadapkan dengan permasalahan hukum yang seperti itu, dapat ditempuh cara perumusan identitas alamat sebagai berikut:
Mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir Dalam penulisan identitas alaat, cukup atau dapat mencantumkan alamat tempat tinggal terakhir dengan klausul: “terakhir bertempat tinggal atau berkediaman di …”, atau secara tegas menyebutkan “tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya”.

Supaya cara di atas benar-benar berasalan, pernyataan itu sebaiknya didukung dengan surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat tinggal diketahui. Surat keterangan tersebut sebaiknya diminta sebelum mengajukan gugatan. Berdasarkan surat keterangan itu, penggugat dapat merumuskan identitas alamat tempat tinggal yang berbunyi: “alamat atau tempat tinggal tergugat tidak diketahui berdasarkan Surat Keterangan Kepala Desa tanggal ….. Nomor …..”

Berdsarkan Surat Keterangan itu pengadilan dapat langsung menempuh proses pemeriksaan melalui pemanggilan umum berdsarkan Pasal 390 ayat (3) HIR.

c. Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif

 

Meski ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus disebutkan dalam surat gugatan cukup memadai sebagai dasar menampaikan surat panggilan atau pemberitahuan. Namun demikian tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap. Selain nama dan alamat lengkap, penggugat juga diperbolehkan untuk mencantumkan identitas lain seperti pekerjaan, agama, jenis kelamin atau suku bangsa. Lebih lengkap tentunya lebih baik dan lebih pasti. Akan tetapi hal itu jangan diterapkan secara sempit dan dimaknai sebagai syarat formil. Bila hal itu diterapkan, maka akan menimbilkan ketidak-adilan bagi penggugat karena untuk mendapatkan identitas tergugat yang lengkap sangat tidak mudah. Kecuali yang digugat itu adalah perseroan, perlu atau harus disebutkan kedudukan atau jabatan orang yang bertindak mewakilinya. Biasanya yang mewakili perseroan dalam perbuatan hukum adalah direktur.

Memperhatikan kesulitan itu, tepat dan beralasan penggarisan undang-undang dan praktik peradilan yang menganggap identitas tergugat atau para pihak cukup sebatas penyebutan nama lengkap, alamat tempat tinggal atau tempat kediaman pokok atau tambahan, atau jabatan yang mewakili perseroan bila mana penggugtanya atau yang digugat adalahperseroan. Penyebutan identitas yang demikian sah menurut hukum, dengan pengecualiasn: penyebutan yang lengkap lebih baik, namun tidak bersifat imperatif.

E. Fundamentum Petendi

Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan antara lain: positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan dan dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.

Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Juga sekaligus membebankan kepada penggugat untuk membuktikan dalil gugatan sesuai yang digariskan Pasal 1865 KUHPer dan Pasal 163 HIR yang menegaskan bahwa setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.

Mengenai perumusan fundamentum petendi atau dalil gugatan, muncul dua teori, yaitu:

- Teori yang pertama disebut Substantierings Theorie. Teori ini berpendapat bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.

Sebagai contoh, menurut teori ini penggugat tidak cukup hanya menyatakan “penggugat adalah pemilik barang”, tetapi perlu dinyatakan juga alasan atau dengan cara penggugat memiliki barang tersebut, apakah dengan membeli dari orang lain, mendapat hadiah dar pemerintah, atau mendapat warisan dari almarhum ayahnya?

- Teori yang kedua adalah Individualiserings Theorie (Individualisasi). Teori ini mengatakan bahwa peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar tuntutan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum karena hal tersebut dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Tentang hal itu Prof. Sudikno mengemukakan salah satu Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa perumusan kejadian materi secara singkat sudah memenuhi syarat.

Di antara dua teori tersebut di atas manakah yang lebih baik, sebenarnya bergantung pada sejarah hukum acara perdata yang pernah berlaku pada Hindia Belanda dahulu. Pada dasarnya ada dua sistem hukum acara perdata yang berlaku, yaitu yang berlaku bagi golongan Eropa diatur dalam HIR dan RBg. Menurut sistem BRv beracara itu harus dilakukan secara tertulis dan diwakilkan kepada advokad ahli hukum sedangkan hakim bersifat pasif. Karena dibuat secara tertulis, perlu lengkap, jelas dan sitematis, jadi lebih sesuai dengan Substantierings Theorie. Menurut sistem HIR dan RBg., beracara tidak harus tertulis, lisanpun boleh, tidak harus diwakilkan oleh advokad dan hakim bersifat aktif. Oleh karena itu, mengajukan surat gugatan pun tidak ada keharusan dalam bentuk tertentu, dalam hal ini boleh mengikuti Individualiserings Theorie.

Karena sistem HIR dan RBg diikuti hingga sekarang, penggugat bebas merumuskan surat gugatannya. Surat gugatan cukup memberikan gambaran yang jelas mengenai peristiwa materil yang menjadi dasar tuntutan. Apabilasurat gugatan kurang jelas atau kurang sempurna, hakim dapat memberi petunjuk kepada penggugat agar memperbaiki surat gugatannya. Dalam praktik hukum, teori mana yang perlu diikuti dalam penyususunan surat gugatan tidak begitu dipermasalahkan. Namun, perkembangan praktik dan kemajuan bidang pendidikan hukum cukup memberikan indikasi adanya kecenderungan untuk mengikuti teori pertama tanpa pula mengabaikan teori yang kedua.

Unsur Fundamentum Petendi

 

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori di atas digabung, tidak dipisah secara kaku dan sempit. Penggabungan kedua teori itu dalam perumusan gugatan dilakukan untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur (obscuur libel). Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi yang dianggap lengkap memenuhi syarat dengan memuat dua unsur:

a. Dasar Hukum (Rechtelijke Grond)

Dasar hukum memuat penegasan dan penjelasan mengenai hubungan hukum antara penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan dan antara penggugat dengan tergugat berkaitan dengan materi dan atau objek sengketa.

b. Dasar Fakta (Feitelijke Grond)

Dasar fakta memuat penjelasan dan pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak tergugat. Atau, penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, posita yang dianggap terhindar dari obscuur libel (gugatan kabur) adalah surat gugatan yang jelas sekaligus memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum yang menjadi dasar hubungan hukum serta dasar fakta atau peristiwa yang terjadi di sekitar hubungan hukum yang dimaksud.

Untuk mengetahui lebih detil mengenai Fundamentum Petendi (posita), silahkan baca artikel  tentang: Dalil Gugatan Yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum

F. Petitum Gugatan

Syarat formulasi gugatan yang lain adalah petitum gugatan. Supaya gugatan sah dalam arti tidak mengandung cacat formil, gugatan harus mencantumkan petitium yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa deskribsi (penjabaran) yang jelas menyebutkan satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal – hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat. Dengan kata lain, petitum berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak. Ada beberapa istilah yang sama maknanya dengan petitum, yakni: petita atau petitory maupun conclusum. Akan tetapi, istilah yang baku dan paling sering digunakan dalam praktik peradilan adalah petitum atau pokok tuntutan.

Bentuk Petitum

Macam – macam atau bentuk – bentuk petitum adalah sebagai berikut:

a. Petitum Bentuk Tunggal

Petitum disebut berbentuk tunggal apabila deskribsi yang menyebut satu persatu pokok tuntutan tidak diikuti dengan susunan deskribsi petitum lain yang bersifat alternatif atau subsidair (subsidiary). Perlu diingat bahwa bentuk petitum tunggal tidak boleh hanya berbentuk compositur atau ex-aequo et bono (mohon keadilan) saja. Tetapi harus berbentuk rincian satu per satu, sesuai dengan yang dikehendaki penggugat dikaitkan dengan dalil gugatan. Petitum yang hanya mencantumkan mohon keadilan atau ex-aequo et bono tidak memenuhi syarat formil dan materiil petitum. Akibat hukumnya gugatan dianggap mengandung cacat formil sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.

b. Bentuk Alternatif

Petitum gugatan yang berbentuk alternatif dapat diklasifikasi dalam dua bagian:

- Petitum Primair dan Subsidair Sama Sama Dirinci

Baik petitum primair maupun subsidair sama – sama dirinci satu per satu dengan rincian yang saling berbeda. Misalnya pada angka 1 dan 2 petitum primair penggugat meminta agar dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas suatu barang dan menghukum tergugat untuk menyerahkan barang tersebut kepadanya yang diikuti dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan pada angka 1 dan 2 petitum subsidair, penggugat meminta dinyatakan sebagai orang yang berhak atau pemilik barang dan meminta agar tergugat dihukum untuk membayar harga barang. Pada contoh ini jelas dapat dilihat perbedaan pokok tuntutan pada primair yaitu menghukum tergugat menyerahkan barang. Sedangkan pada subsidair meminta menghukum tergugat membayar harga barang.

Penerapan yang ditegakkan menghadapi petitum primair dan subsidair yang masing-masing dirinci satu per satu mutlak diterapkan secara alternatif, oleh karena itu hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusan harus memilih apakah petitum primair atau subsidair yang hendak dikabulkan. Dengan demikian, hakim dalam menghadapi gugatan yang mengandung petitum primair dan subsidair tidak boleh mencampur-adukkan dengan cara mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian lagi dari subsidair.

- Petitum Primair Dirinci, Diikuti Dengan Petitum Subsidair Berbentuk Compositur

Petitum primair yang dirinci lalu diikuti dengan petitum subsidair berbentuk compositur atau ex-aequo et bono (mohon keadilan) sifat alternatifnya tidak mutlak (tidak absolutd). Dalam hal ini hakim bebas untuk mengambil seluruh dan sebagian petitum primair dan mengesampingkan petitum ex-aequo et bono (petitum subsidai). Bahkan, hakim bebas dan berwenang menetapkan lain berdasrkan petitum ex-aequo et bono dengan syarat harus berdasarkan kelayakkan dan kepatutan (appropriateness) serta masih dalam kerangka jiwa petitum primair dan dalil gugatan

Silahkan baca artikel berikut ini yang membahas tentang: Petitum Yang Tidak Memenuhi Syarat Dan Mengakibatkan Gugatan Tidak Dapat Diterima 
___________________
  • Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 41
  • Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 24
  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 35
  • Kitab Undnag-Undnag Hukum Perdata (KUHPer)
  • Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana
  • Putusan MA Nomor 769 K/Sip1976
  • Putusan MA Nomor 547 K/Sip/1971

0 komentar: