Alumnus (Alumni Belum Lulus)

Monday 25 March 2019

Alumnus (Alumni Belum Lulus)

 Alumnus (Alumni Belum Lulus)

Oleh: Hesti Sitepu

“Aku malas belajar loh kak, aku mau main!” ujar bocah yang hari ini punya jadwal belajar dengan saya dengan nada bergetar menahan tangis.

Ini adalah gambaran dari salah satu siswa kelas 3 SD di sebuah sekolah “mahal” di salah satu kota di negeri ini Selama dua bulan terakhir, ia belajar privat dengan saya empat hari dalam seminggu. Dan selama dua bulan itu saya berusaha membuat ia senang belajar karena ia sangat benci belajar.

Itulah salah satu gambaran siswa di negeri ini. Belum lagi, fakta ada kurang lebih 630 ribu sarjana lulusan S1 yang menganggur. Para sarjana itu merupakan alumni dari berbagai kampus yang ada di Indonesia. Miris memang, namun inilah potret pendidikan kita yang fokus pada hasil (jumlah) dari pada kualitas (prestasi) sehingga ada begitu banyak alumni (sudah tamat kuliah) namun ternyata belum lulus (siap) berkarya di negeri ini.

Kondisi alumni ini, tentu terjadi akibat dari sistem pendidikan yang ada. Setidaknya ada tiga alasan yang kita lihat dari sistem pendidikan di negeri ini.

Pertama, pendidikan di negeri ini cenderung memaksa. Hal sangat terlihat dimasa saya SD pada tahun 90an, pada masa itu hampir semua guru mata pelajaran menekankan agar menghapal materi. Mulai dari matematika hingga olahraga. Kebanyakan sekolah seperti rumah hapalan.

Di tambah lagi pada masa kini, sebagian orangtua yang memandang anak sebagai suatu omset kebanggaan. Anak dipaksa belajar agar memberi kebanggaan-juara kelas- tanpa melihat tingkat perkembangannya-khususnya anak-anak TK dan SD- yang harusnya lebih banyak bermain. Mereka dituntut untuk belajar terus-menerus, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ada banyak anak-anak-siswa privat saya-benci belajar.

Jelas ini adalah sebuah metode yang menekan kreativitas. Maka hal yang wajar ada banyak alumni yang tidak kreatif serta monoton dalam menghasilkan ide-ide yang ada. 

Kedua, pendidikan tanpa penjelasan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Saya teringat ketika saya duduk di bangku SMP, saat itu saya mencoba bertanya kepada guru tentang alasan kami belajar ekonomi-saya lupa topiknya-, guru saya hanya menjawab supaya saya pintar. Jawaban tidak memuaskan ini, malah ia membuat kami untuk meringkas agar lebih ingat. Aneh memang, faktanya ada banyak siswa hingga pendidik yang tidak memahami mengapa kita harus belajar.

Karenanya, tidak heran jika ada begitu banyak anak yang tidak bergairah untuk belajar. Karena tidak memahami tujuan dari pendidikan, kenapa harus belajar. Sebagian pendidik lupa kalau pendidikan itu untuk memanusiakan, dan salah satu tanda dari manusia yang utuh adalah mau tahu. Karena itu, jika manusia berhenti untuk mau tahu maka ia akan berhenti berkembang menjadi manusia utuh.

Ketiga, pendidikan yang instan yang mengajarkan banyak cara cepat. Ini dapat kita lihat dari mencontek ketika ujian, mulai dari ujian harian hingga ujian nasional, dan parahnya lagi mulai dari ujian masuk perguruan tinggi hingga ujian CPNS. Ini fakta yang ada di negeri ini bahwa semua orang di tuntut, diajarkan, untuk menghasilkan sesuatu dengan instan.

Jadi, tidak mengherankan jika ada begitu banyak kecurangan, bahkan penyelewengan yang terjadi di negeri ini, karena sistem yang di pertontonkan sejak di bangku sekolah.

Berkaca dari kondisi yang ada, kita harus mengantisipasi munculnya alumni-alumni yang belum lulus berkarya. Agar negeri dapat kita bangun bersama lewat alumni yang siap berkarya dan membangun bangsa. Dengan memulai pendidikan yang kreatif, bertujuan, serta menanamkan pemahaman konsep yang baik. Tentu semua hal ini tidak lepas dari tanggung jawab kita semua. Karena itu, mari bergerak dan bersatu menuju pendidikan yang berkarya.

Tentang Penulis:
Penulis adalah alumnus FKIP Universitas Nommensen Siantar, Sumatera Utara. Lahir di Kisaran, 6 Agustus 1992. Saat ini penulis berprofesi sebagai pengajar aktif di SMA Swasta Methodist-2 Kisaran, mengampu mata pelajaran matematika

BACA JUGA:

7 komentar:

Admin said...

Benar om,sekolah hanya menggunakan indikator sebuah angka untuk menilai seseorang, seolah lupa bahwa setiap orang punya kebutuhan yg berbeda, bakat berbeda, minat berbeda, dll. Tapi dipaksa mempelajari semua mata pelajaran yg mungkin dimasa depannya nanti tidak dibutuhkan

Bangtax said...

ditunggu artikel dan pembahasan menarik lainnya gan, nice banget nih

Radith said...

ya beginilah kondisi pendidikan di negara +62

Microshop Computer said...

Pendidikan di negeri kita memang belum baik sistemnya . Kurikulum yg berubah , materi pelajaran yang banyak membuat siswa susah fokus pada bidang yang dikuasai . Semoga bisa membaik kedepannya

Microshop Computer said...

System pendidikan kita memang belum bagus . Mulai kurikulum berubah ubah , hingga materi pelajaran yg banyak membuat siswa susah fokus pada bidang yang dikuasai. semoga kedepan bisa lebih baik

Microshop Computer said...

System pendidikan kita memang belum bagus . Mulai kurikulum berubah ubah , hingga materi pelajaran yg banyak membuat siswa susah fokus pada bidang yang dikuasai. semoga kedepan bisa lebih baik

Unknown said...

Real banget. Gua ingat banget dulu jaman sekolah hampir tiap hari kerjaannya kalau gak nyalin buku dengan cara didikte oleh guru kalau enggak ketua kelas, plus ngafal materi hahahah