Upah dan Buruh

Monday 14 March 2016

Upah dan Buruh



Orang-orang yang bekerja di perusahaan industri dan menerima upah, sudah biasa menyebut dirinya buruh. Orde Baru sering menyebut buruh dengan "karyawan". Sedangkan mereka yang bekerja di perusahaan jasa seperti bank dan perdagangan hampir tak ada yang menyebut dirinya sebagai buruh. Bahkan mereka yang bekerja dan diberi gaji di LSM, justru sering menyebut dirinya secara non-ekonomi sebagai "aktivis".

Sebutan yang berbeda-beda itu memang kenyataan yang tak terbantahkan. Buruh cenderung dipersepsikan sebagai orang-orang yang bekerja di pabrik. Akibat persepsi yang berbeda-beda ini, orang-orang yang menerima upah dan gaji, seakan-akan secara hakiki adalah berbeda-beda. Sehingga mereka tidak merasa sebagai satu golongan yang sama, yakni golongan yang diupah dan digaji. Siapakah memberlakukan cara berpikir seperti itu?

Cara melihat buruh haruslah didasarkan atas hubungan-hubungan kerja (produksi) di mana pun mereka bekerja, terlepas apakah bidangnya ekonomi (perusahaan), sosial, politik atau budaya. Baiklah kita susun pertanyaannya agar memudahkan kita mengenalinya lebih jauh.

3.1. Siapakah buruh itu?

Walaupun sering kita dengar istilah buruh, tapi ada baiknya kita rumuskan secara lebih tepat. Kerja dan hubungan kerja (produksi) - di bidang apa pun seseorang bekerja - merupakan pedoman dasar bagi kita untuk memeriksa kedudukan suatu golongan dalam masyarakat. Ada beberapa rumusan yang perlu kita susun.

Pertama, buruh adalah pemilik tenaga kerja, bukan pemilik alat-alat kerja (produksi/modal). Tenaga kerja ini digunakan untuk bekerja, baik kerja memproduksi televisi atau pakaian maupun kerja melayani tamu-tamu hotel dan restoran serta tenaga yang digunakan untuk kerja pelayanan sosial. Buruh adalah golongan yang tak memiliki alat-alat produksi.

Kedua, buruh adalah penjual tenaga kerja. Buruh dapat menjual tenaga kerjanya kepada siapa pun pembeli atau penyewanya, seperti kepada pemilik modal, kepada wakil pemerintah atau pemilik yayasan dan badan hukum lainnya. Buruh tidak menjual kerjanya, karena hasil-hasil yang dicapainya dari kerjanya, sama sekali tidak dijual kepada pengusaha. Jadi, tidak ada pembelian kerja oleh pengusaha. Buruh hanya menjual tenaga kerja. Karena itu, orang-orang yang disebut profesional di berbagai perusahaan - biarpun gajinya besar - atau pengurus ("aktivis") LSM yang digaji, mereka tetap saja sama hakekatnya dengan buruh di pabrik-pabrik: penjual tenaga kerja.

Ketiga, buruh adalah golongan upahan atau pemakan gaji. Bila seseorang yang bekerja di pabrik, pasti tahu apa yang dia terima dari jual-beli. Buruh dibayar upah (sejumlah uang) dan pengusaha dapat tenaga kerjanya untuk waktu sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya. Begitu juga, orang-orang yang bekerja di perusahaan jasa, LSM, kantor pengacara atau akuntan publik, kantor pemerintah, setelah menjual tenaganya, mereka dibayar uang gaji. Buruh adalah golongan yang diupahdan digaji.

Keempat, buruh bukanlah pemilik hasil kerjanya. Walaupun hasil dari bekerja yang telah dicapainya, tidak satu pun hasilnya dimiliki buruh. Hasil-hasil yang telah dikerjakan buruh dalam bekerja, tidaklah menjadi hasil mereka, karena seluruhnya telah menjadi milik pengusaha yang mempekerjakannya. Jadi, tak satu pun hasilnya menjadi milik buruh. Seluruh hasil kerja buruh mutlak (absolut) milik pengusaha.

Kelima, buruh hanya mendapatkan penat, lelah dan capek setelah bekerja. Dalam kegiatan kerja (produksi), buruh tak mendapatkan apa-apa, kecuali mendapatkan rasa penat, lelah dan capek. Hasil-hasil yang sudah dikerjakannya, sudah mutlak menjadi milik orang lain yakni orang yang mempekerjakannya. Dalam kerja, tenaga kerja buruh diperas yang menyebabkannya penat, lelah dan capek.

Keenam, buruh adalah golongan yang dipekerjakan. Buruh bukan pihak yang mempekerjakan orang lain, melainkan justru dipekerjakan oleh orang lain (pengusaha) dan pemilik (penguasa) badan hukum. Karena itu, buruh bukan pihak yang menentukan dan mengendalikan proses kerja.

Ketujuh, buruh adalah golongan mayoritas dalam hubungan kerja-upahan. Dalam perusahaan, pusat perbelanjaan dan perkantoran, jumlah buruh jauh lebih banyak ketimbang pengusaha atau golongan yang mempekerjakan mereka. Walaupun mayoritas, buruh ditentukan dan dikendalikan oleh pihak yang mempekerjakan mereka. Artinya, buruh dikuasai dan diperintahi untuk bekerja sesuai target atau kepentingan pihak minoritas yang berkuasa.

3.2. Mengapa buruh muncul?

Kemunculan golongan pengusaha (borjuis) sebagai penguasa baru ekonomi telah dimantapkan dengan berfungsinya berbagai perangkat sistem ekonomi, politik, hukum dan budaya. Pengusaha di mana saja dan kapan saja, selalu membutuhkan kaum buruh.

Pertama, revolusi industri telah memunculkan golongan revolusionernya yang disebut borjuasi (pengusaha). Kemajuan ini telah mendorongnya membangun perusahaan-perusahaan industri yang dimiliki secara pribadi. Pengusaha industri menjadi pemimpin dan penguasa baru dalam ekonomi, kemudian politik, hukum, budaya dan ideologi. Tapi perusahaan-perusahaan membutuhkan buruh-buruh industri.

Kedua, kebutuhan pengusaha atas kaum buruh, karena pengusaha membutuhkan orang-orang yang dipekerjakannya. Pengusaha membangun perusahaan, tapi perusahaan hanya bisa berjalan dan berkembang bila buruh menjalankannya. Berputarnya roda perusahaan (produksi) berarti terbentuknya lapisan buruh sebagai golongan yang dipekerjakan.

Ketiga, pengusaha memberlakukan sistem upah atau hubungan kerja-upahan. Sistem ini mengubah tenaga kerja menjadi komoditas (barang dagangan). Siapa pun yang dipekerjakan pengusaha, akan masuk sebagai golongan upahan, yakni golongan yang diupah. Sistem upah telah memunculkan sebuah lapisan yang disebut buruh.

Keempat, buruh tidak memiliki alat-alat produksi, padahal untuk bekerja harus tersedia alat-alat produksi. Karena itu, satu-satunya miliknya berupa tenaga kerja, terpaksa dijual untuk dihisap sebagai golongan upahan. Golongan ini berubah menjadi buruh, bekerja kepada pemilik alat-alat produksi (pengusaha).

Begitulah cara berfungsinya mekanisme pasar tenaga kerja dan aturan-aturan hubungan kerja-upahan yang ditentukan dan diberlakukan oleh golongan pengusaha terhadap golongan buruh. Buruh terpaksa harus menjalaninya mekanisme dan aturan-aturan tersebut.

3.3. Apakah upah itu?

Upah dan gaji sudah menjadi gambaran umum dalam berbagai masyarakat di mana saja yang hubungan-hubungan kerja ditentukan dan diatur atau dikendalikan oleh golongan pengusaha dan pihak yang mempekerjakan buruh.

Pertama, upah adalah hubungan pertukaran antara buruh dan pengusaha. Hubungan pertukaran terjadi ketika buruh menawarkan tenaga kerjanya dan pengusaha membeli atau menyewanya dengan sejumlah uang: sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta, atau sepuluh juta. Buruh menukarnya dengan tenaga kerjanya kepada pengusaha. Buruh menyediakan tenaganya untuk digunakan pengusaha: sehari, seminggu, sebulan, setahun, atau sepuluh tahun.

Kedua, upah adalah harga tenaga kerja yang dikeluarkan seorang buruh per hari (delapan jam). Begitu juga, gaji adalah harga tenaga kerja yang dikeluarkan seorang buruh per bulan. Uang diberikan pengusaha dan buruh menukarnya dengan tenaga kerja. Jadi, tenaga kerja telah diubah menjadi komoditas (barang dagangan).

Ketiga, upah sama sekali bukanlah hubungan produksi. Di sini terjadi hubungan jual-beli (pasar tenaga kerja): antara penjual dan pembeli (penyewa). Hukum pasar berlaku. Bila calon buruh melimpah, harga tenaga kerja akan menjadi murah. Bila sedikit, tingkat upahnya menjadi lebih tinggi.

Keempat, hubungan upah adalah hubungan yang dibentuk, diatur dan diberlakukan dipertahankan oleh pengusaha dalam mempekerjakan buruh. Akibatnya, buruh dipaksa tunduk untuk mengikuti dan mematuhi mekanisme dan aturan-aturan bahkan pikiran dan teori-teori yang melanggengkan hubungan upahan tersebut.

3.4. Mengapa buruh diupah?

Tentu kita terus mengejar dasarnya: mengapa buruh diupah? Apa yang mendasari munculnya sistem upah?

Pertama, terjadi perkembangan bahwa alat-alat produksi dimiliki secara pribadi. Pemilik modal ini disebut pengusaha. Maka, orang-orang yang tidak memiliki alat-alat produksi dipaksa bekerja kepada para pemilik modal tersebut.

Kedua, tenaga kerja telah diubah menjadi komoditas. Untuk bisa bekerja kepada pemilik modal, buruh dipaksa harus mengubah tenaga kerjanya menjadi komoditas. Dengan perubahan ini, pengusaha membelinya dan membayarnya dengan sejumlah uang yang disebut upah.

Ketiga, aturan yang diberlakukan pengusaha itu telah memaksa buruh tunduk. Buruh tak punya alat-alat produksi, padahal buruh punya tenaga kerja. Buruh tak mungkin bekerja - mengeluarkan tenaga kerjanya - tanpa alat-alat produksi. Akibatnya, satu-satunya miliknya (tenaga kerja) terpaksa dijualnya kepada pengusaha untuk bisa bekerja.

3.5. Apakah upah buruh sudah layak?

Tingkat upah atau gaji buruh memang bermacam-macam besarnya. Ada yang sangat rendah dan ada pula yang sudah layak. Bagi buruh yang disebut profesional dan buruh setingkat manajer, gaji mereka relatif layak. Dengan gaji itu mereka bisa memenuhi banyak kebutuhan termasuk beli mobil dan rumah yang memadai.

Tapi berbeda dengan upah buruh di banyak perusahaan industri manufaktur ringan. Kepada mereka diberlakukan upah yang rendah. Upah harian yang diterimanya cuma cukup buat bertahan hidup sehari. 

Walaupun ada buruh kerah putih (white collar) yang bergaji tinggi, tapi sebagian besar (mayoritas) buruh yang pada umumnya adalah buruh kerah biru (blue collar) yang justru diupah rendah. Perbedaan tingkat upah ini berlangsung pada perusahaan yang berbeda-beda pula.

Karena mayoritas buruh masih diupah dengan tingkat upah yang rendah, maka secara umum dapat dikatakan bahwa upah buruh belum layak. Buruh Indonesia - dengan upah dan gaji yang diterimanya - masih menghadapi masalah upah yang rendah.

3.6. Apa penyebab upah buruh rendah?

Ada beberapa sebab tentang mengapa tingkat upah buruh di Indonesia sangat rendah. Berikut ini disusun alasan-alasannya.

Pertama, upah biasanya mengikuti aturan hukum pasar: permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja. Jumlah calon penjual tenaga kerja (termasuk angka pengangguran) yang melimpah, melemahkan posisi tawar buruh terhadap penyewa atau pembeli tenaga kerja (pengusaha). Belum lagi ditambah dengan banyak jumlah buruh yang di-PHK. Akibatnya, upah sebagai harga tenaga kerja mengalami kemerosotan.

Kedua, penentuan upah juga didasarkan oleh kebijakan pemerintah. Selama Orde Baru, pemerintah menetapkan tingkat upah yang rendah bagi buruh melalui pemberlakuan UMR. Survei dan penelitian upah yang dilakukan pihak pemerintah hanya sekadar untuk membenarkan ukuran-ukuran upah yang rendah. Tak ada rencana kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan buruh.

Ketiga, masih terjadi diskriminasi rasial terhadap buruh Indonesia. Tampak pikiran rasialis dalam memandang buruh Indonesia ketika dibandingkan buruh dari luar negeri yang bekerja di Indonesia seperti dari Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, bahkan India. Sejumlah perusahaan yang mempekerjakan buruh asing ini memberlakukan upah yang tinggi dan fasilitas yang memadai, sementara buruh-buruh Indonesia diberlakukan upah yang rendah.

Keempat, upah buruh juga menghadapi faktor inflasi. Ketika harga barang dan jasa melambung, upah buruh justru merosot secara riil. Bila sebelumnya, dengan upahnya sehari bisa membeli sepotong kemeja, ketika harga-harga naik justru hanya mampu membeli tiga per empatnya. Artinya, sebanyak seperempat upahnya secara riil sudah merosot.

Kelima, buruh masih lemah dalam membangun dan mengembangkan kekuatannya sebagai kekuatan yang terorganisasi. Orde Baru telah memporak-porandakan kekuatan buruh. Sedangkan buruh sendiri sangat terpecah-belah. Buruh kerah putih hampir tak pernah menyatakan dirinya buruh, sehingga miskin solidaritas. Tanpa organisasinya, buruh tak bisa menaikkan posisi tawarnya, khususnya dalam menuntut upah yang layak.

0 komentar: