Mantan Vocalis Boomerang, Roy menyatakan dukungan terhadap perjuangan Bidan Desa PTT |
Komune Paris merupakan pemerintahan Pertama yang dikuasai oleh kelas buruh. Sejarah melukiskannya sebagai “hasil perjuangan kaum produsen melawan kelas penghisap, sebuah bentuk politik yang akhirnya ditemukan yang dibawahnya kita dapat menjalankan emansipasi ekonomis kaum buruh.”
Selama 72 hari kelas buruh memegang pemerintahan di kota Paris. Walau tidak bertahan lama, Komune Paris menjadi sebuah perkembangan yang sangat penting dan sangat potensial untuk perjuangan buruh, yang memberikan pelajaran baik positif maupun negatif tentang bagaimana kita membangun sebuah masyarakat sosialis.
Terdapat sejumlah kesimpulan yang mahapenting dalam mempelajari Komune Paris, dan kesimpulan-kesimpulan tersebut telah diterbitkan dalam sebuah karya besar berjudul “Perang Sipil di Perancis”. Seperti dinyatakan dalam buku tersebut: “Dengan perjuangan di Paris itu, perjuangan kelas buruh melawan kelas kapitalis dan aparatus negaranya telah masuk tahapan baru. Tidak peduli hasilnya yang sementara, kita telah mendapati sebuah titik tolak baru yang sangat berarti dalam sejarah dunia.”
Komune membuktikan kemampuan kelas pekerja untuk mengambil alih kekuaasan dan memerintah secara demokratis dan kolektif demi kepentingan rakyat luas: kaum buruh, kaum miskin, kaum tertindas. Komune menjadi sebuah emansipasi sementara – sebuah pesta rakyat tertindas – di mana kaum pekerja memperlihatkan keberanian, akal daya dan kreativitasnya.
Latar Belakang Sejarah
Sebelum tahun 1870 Perancis dikuasai selama 20 tahun oleh Louis Napoleon, seorang tiran badut yang bercita-cita menghidupkan kembali kejayaan pamannya, Napoleon Bonaparte. Si badut yang menamakan diri Napoleone III itu, mengepalai sebuah rezim yang korup dan represif bernama Kekaisaran Kedua.
“Kaisar” ini menjalankan sederetan perang dan petualangan. Tetapi begitu dia menghadapi negara Jerman di bawah Otto von Bismark, dia kalah. Tentara Perancis dihancurkan dalam waktu beberapa hari dan si Napoleone III ditangkap. Kemudian terbentuklah “Pemerintah Pembela Bangsa” dibawah Adolphe Thiers dengan tujuan menyelesaikan perang secepat mungkin serta mejaga kestabilan sosial di bawah kekuasaan borjuis sebagai harga perdamaian setelah kekalahan Prancis atas Prussia atau Jerman.
Akan tetapi kaum pekerja Paris mempunyai rencana lain. Saat itu Paris terkepung oleh tentara Jerman dan dibela terutama oleh Garda Nasional yang dalam garis besar terdiri atas buruh bersenjata. Rakyat pekerja Paris telah mewarisi tradisi perjuangan dan radikalisme yang kuat dari Revolusi Perancis tahun 1789. Tradisi itu mengilhami perjuangan mereka pada tahun 1870.
Pemerintah Thiers yang bermarkas di Versailles, agak jauh dari Paris agar selamat dari kaum buruh, menyerah kepada Jerman di bulan Januari 1871. Tidak hanya karena tentara Perancis kehabisan tenaga, tetapi juga karena Thiers cs merasa takut dihadapan kebangkitan kaum buruh bersenjata di Paris. Bagi mereka, tugas utama adalah menaklukkan kaum pekerja.
Bagaimanapun juga Paris bersikap menentang, dimana tidak dapat menerima kemenangan Prussia. Ini artinya Paris tidak puas dengan penyerahan pemerintahan ke tangan Prussia. Kemarahan patriotik Perancis mengalahkan ketidakmampuan kemarahan pemerintahan baru di Versailles. Pasukan nasional Paris tetap bersiaga, siap untuk menolak segala macam pemasukan dengan paksa dari para Prussia ke Paris. Meriam-meriam yang digunakan pengepungan kota Paris telah dibawa ke berbagai tempat di Paris. Akhirnya semua meriam itulah yang dibawa ke berbagai daerah, sehingga menjadi isu yang kritis.
Pada tanggal 18 Maret, Thiers mengirimkan pasukan ke Paris di bawah kepemimpinan Jendral Lecomte ke Paris untuk merebut meriam-meriam Garda Nasional, sebagai langkah pertama dalam upaya melucuti semua persenjataan rakyat pekerja. Pasukan itu didukung oleh polisi pula. “Kami akan menggebuk mereka” bual si Jendral Lecomte. Rencananya adalah dengan menduduki titik-titik strategis di kota, merebut persenjataan dan menangkap para revolusioner yang sudah dikenal. Thiers sendiri bersama beberapa menterinya pergi ke Paris untuk mengawasi jalannya operasi.
Namun rencana itu gagal. Massa buruh, dipimpim oleh kaum perempuan, bergegas membela meriam-meriam itu dengan mengorganisir para tentara rendahan, sampai tentara itu tidak lagi menurut perintah. Berkali-kali Lecomte menyuruh mereka menembak (“Setidaknya tembaklah satu kali demi martabat kita!”) tapi mereka menolak dan akhirnya membuang senjata mereka. Sebagian membelot ke pihak buruh, sebagian lain mengundurkan diri. Para pasukan itu menjadikan para perwiranya tunduk kepada mereka dan tinggal hanya para polisi militer yang dapat memberi semacam perintah kepada mereka. Jadi mereka dengan sangat terburu-buru menarik kembali beberapa resimen yang terlupakan dan tertinggal di Paris (sekitar 20 ribu orang). Para perwira dijadikan tahanan, sementara sekitar 1.500 orang tertinggal tanpa perintah dan hanya duduk-duduk selama periode komune. Orang-orang yang duduk di pemerintahan meninggalkan kota.
Jam 11 tepat pada malam itu, komite pusat dari Tentara Nasional akhirnya dapat engumpulkan anggotanya beserta cukup keberanian untuk mengambil alih Hotel de Ville yang ditinggalkan, sementara komandan Tentara Nasional lainnya dan anak buahnya tetap tinggal di gedung-gedung umum di pusat kota.
Delapan hari kemudian pemungutan suara di Paris diadakan dengan 227.000 suara yang terhitung. Ini hanyalah setengah dari jumlah pendaftar yang mendaftar sebelum perang, semenjak terjadi pengurangan populasi besar-besaran. Eksodus ini berjalan untuk mengambil keuntungan dari ‘area kelas pekerja’ yang pada saat itu menjadi daerah yang sangat makmur yang masih ada. Juga dengan sistem representatif yang proporsional yang diadopsi oleh Komute Pusat yang memberikan lebih banyak representasi bagi distrik dimana banyak populasi kelas pekerja daripada sistem yang sebelumnya. Hasil menunjukkan kelebihan ada pada kelompok kiri, hanya sekitar 15-20 dari kaum republik moderat yang dipilih dimana mereka segera meletakkan jabatan.
Secara formal, komune diterapkan di Hotel de Ville dua hari kemudian pada saat teriknya musim panas yang penuh kejayaan di hari Selasa tanggal 28 Maret. Batalyon Tentara Nasional berkumpul, nama-nama yang baru pilih akhirnya dibacakan, dengan mengenakan pakaian merah, mereka berbaris ke Hotel de Ville dengan kebanggaan yang mengerumuni dan menyingkirkan republik. Bendera merah dikibarkan tinggi-tinggi sejak mulai tanggal 18 Maret dan rentetan senjata dibunyikan menyambut Proklamasi Komune Paris.
Capaian Komune Paris
Hari itu juga, Komite Pusat dari Garda Nasional mendeklarasikan sebuah republik:
“Kaum proletarian, di tengah kegagalan dan pengkhianatan kelas-kelas penguasa, telah sadar bahwa sudah saatnya menyelamatkan rakyat dengan mengambil alih kepengurusan masalah-masalah umum.”
Mereka menerapkan reformasi di bidang perburuhan, politik dan urusan sosial, seperti pemisahan antara agama dan negara, regulasi jam-jam kerja, administrasi demokratis oleh para karyawan di kampung-kampung, hak-hak sipil untuk pendatang asing, demokratisasi pendidikan dan tempat pengasuhan anak. Semua ini dijalankan dalam keadaan darurat saat Paris terkepung dan mengalami kelaparan.
Lebih penting lagi, Komune menerapkan mekanisme baru dalam pemerintahan. Komune membubarkan tentara tetap yang terpisah dari rakyat. Kepolisian dan pengadilan dibubarkan pula, sampai semua tatanan sosial dijaga oleh rakyat bersenjata. Sebagai akibatnya, angka kriminalitas jatuh secara tajam, mana lagi para penjahat terbesar – kaum kapitalis – telah kabur.
Bentuk pemerintahan parlementer juga dihapuskan. Semua keputusan dibuat dan diterapkan oleh komite-komite yang terdiri dari para pengurus dan perwakilan yang dipilih, dan mereka semua bisa ditarik (recall) dan digantikan sewaktu-waktu serta dibayar tidak lebih dari upah rata-rata buruh. Dengan cara ini, massa mampu mengontrol perwakilan-perwakilan mereka dan perwakilan-perwakilan tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Massa menjalankan kontrol langsung terhadap pemerintahan mereka. Artinya, mereka menciptakan sebuah negara tipe baru: sebuah negara buruh. Mekanisme-mekanisme yang mirip muncul juga dalam setiap perjuangan revolusioner kaum buruh sejak waktu itu, seperti soviet-soviet di Rusia pada tahuh 1905-1917, dewan-dewan revolusioner di Itali pada tahun 1920, di Hungaria pada tahun 1956, di Iran pada tahun 1979, dan di Polandia selama kebangkitan Solidarnosc pada 1980.
Sudah jauh-jauh hari dicatat, bahwa aparatus negara merupakan sebuah alat penindas bagi kelas penguasa. Walau aparatus berpura-pura “netral” seolah-olah berdiri di atas konflik-konflik kepentingan dalam masyarakat, sebetulnya negara itu melayani kepentigan kelas penguasa serta mempertahankan kekuasaannya.
Dalam sistem politik kapitalis, parlemen hasil “politik uang” menyetujui undang-undang yang diterapkan oleh pegawai yang tidak terpilih (seperti kepala-kepala birokrasi negara) dan undang-undang itu diselenggarakan secara timpang oleh pengadilan dan kepolisian. Tentara juga melindungi kepentingan kapitalis baik melawan ancaman luar maupun perlawanan dalam negeri, terutama dari rakyat pekerja. Maka sering dikatakan bahwa aparatus negara dengan “satuan-satuan khusus bersenjata”. Aparatus semacam ini diperlukan karena kelas kapitalis hanya merupakan sebuah minoritas kecil yang memaksa kemauannya.
Dalam teori dinyatakan “mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan perjuangan demokrasi.” Artinya kaum pekerja harus merebut kekuasaan politik dulu, baru dapat menjalankan perubahan ekonomi dan sosial. Bagaimana caranya?
Pengalaman Komune Paris memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan jelas. Kelas pekerja tidak bisa mengambil alih aparatus negara yang ada, dengan harapan aparatus itu dapat digunakan demi tujuan kaum buruh. Untuk merubah masyarakat, kaum pekerja memerlukan sebuah negara tipe baru, seperti yang didirikan oleh Komune tersebut.
Tapi kalau semua negara merupakan alat penindas, kenapa kita menginginkan sebuah “negara buruh”? Bukankah lebih baik kita membuang negara sama sekali?
Secara umum dikatakan juga bahwa kelas bruh ingin menghilangkan fungsi negara sebagai penindas. Itu menjadi tujuan akhir kita. Tetapi sebuah masyarakat tanpa struktur kelas tidak akan muncul serta-merta di saat revolusi. Kaum penguasa tidak akan menerima kekalahannya begitu saja. Sebaliknya, kelas penguasa masih memiliki banyak sumber daya dan dukungan dari lapisan sosial tertentu, dan kelas itu akan berusaha matian-matian untuk merebut kembali kekuasaan. Guna mengalahkan pihak borjuis, pihak revolusioner harus mengerahkan tenaganya guna mematahkan segala upaya kontra-revolusi. Untukitu dibutuhkanlah negara buruh.
Namun negara buruh bersifat jauh lebih demokratis dibandingkan negara kapitalis. Negara buruh itu membela kepentingan mayoritas dalam masyarakat. Maka peranan represifnya jauh lebih terbatas. Selain itu, represi yang dilakukan terhadap kaum borjuis akan diterapkan oleh kaum buruh dan oleh rakyat bersenjata, bukan oleh pasukan khusus yang berdiri di atas masyarakat.
Negara buruh merupakan sebuah tahap transisional yang tak terhindarkan antara kapitalisme dan sosialisme. Semakin masyarakat tipe baru berkembang dan kaum pekerja mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, semakin kuranglah kemampuan kaum kapitalis untuk melawan – sampai aparatus represif itu tidak lagi dibutuhkan. Aparatus negara akan melenyap secara berangsur-berangsur.
“Hanya dalam masyarakat yang dicita-citakan oleh kaum buruh, ketika perlawanan kaum kapitalis sudah dipatahkan secara pasti, ketika kaum kapitalis sudah lenyap, ketika tidak ada kelas-kelas (yaitu tidak ada perbedaan di antara anggota-anggota masyarakat dalam hal hubungan mereka dengan alat-alat produksi sosial) —barulah negara lenyap dan kita dapat berbicara tentang kebebasan”.
Sayangnya Komune Paris tidak berkembang sampai ke situ. Revolusi tetap terisolasi di Paris, sehingga pihak borjuis bisa mengkonsolidasikan kekuatannya guna menyerang Paris. Komune dihancurkan; sampai 30.000 orang dibunuh dan 15.000 ditangkap.
Komune Paris menjadi inspirasi untuk revolusi-revolusi mendatang. Akan tetapi Komune itu juga menonjolkan sejumlah kelemahan. Yang pertama, perjuangan revolusioner tidak meluas keluar Paris, sehingga Komune tidak mendapatkan solidaritas dari rakyat tertindas di kawasan lain. Kaum buruh sendiri masih bekerja dalam perusahaan yang relatif kecil, sehingga pengorganisasian lebih berfokus pada kampung bukan pada tempat kerja; dan mereka belum menjadi mayoritas dalam negeri Perancis secara menyeluruh. Kaum perempuan memainkan peranan penting dalam memimpin Komune, tetapi mereka tidak mendapatkan persamaan hak; misalnya mereka tidak boleh ikut menyoblos dalam pemilihan.
Meskipun demikian, Komune Paris memberikan banyak pelajaran kepada gerakan buruh. Komune itu membuktikan bahwa rakyat pekerja mampu mengurus pemerintahan. Konsep-konsep strategis yang muncul dan berkembang dalam Komune Paris yang pada kemudian hari memberikan pelajaran penting bagi perjuangan kaum buruh revolusioner.
***Diolah dari berbagai sumber untuk tujuan pendidikan dan bacaan***
0 komentar:
Post a Comment