Teknik Merumuskan Unsur Dan Elemen Perbuatan Tindak Pidana

Wednesday 24 July 2019

Teknik Merumuskan Unsur Dan Elemen Perbuatan Tindak Pidana

Teknik Merumuskan Unsur Dan Elemen Perbuatan Tindak Pidana
Jika kita melihat buku II dan III KUHP di situ dijumpai beberapa banyak rumusan perbuatan beserta sanksinya yang dimaksud untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.

Pencurian misalnya, unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang orang lain. Akan tetapi tidak setiap tindakan mengambil barang orang lain adalah pencurian, sebab ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian hari diserahkan kepada pemiliknya.

Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah setiap pengambilan barang orang lain, maka dalam Pasal 362 KUHP di samping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen lain yaitu: dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.

Jadi, rumusan pencurian dalam Pasal 362 tadi terdiri atas:
  1. Mengambil barang orang lain, dan
  2. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Begitu pula misalnya dengan penadahan (heling) Dalam Pasal 480 ke-1 dirumuskan dengan unsur-unsur:

  1. Membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima sebagai hadiah, menjual untuk dapat untung, mengganti menerima sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang; dan
  2. Diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Dalam Pasal 480 ke-2 rumusannya adalah:
  1. Menarik untung dari hasil sesuatu barang, dan
  2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Akan tetapi cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsur seperti contoh di atas, tidak selalu dapat dilakukan. Ada kalanya itu disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin, atau dianggap kurang baik pada saat membikin aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan batas-batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.

Contoh-contoh dari cara ini adalah Pasal 351, yaitu: penganiayaan, dan Pasal 297, yaitu: perdagangan wanita (vrouwenhandel)

Mengenai penganiayaan, dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi: menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit (pijn) pada orang lain. Tetapi mengenai perdagangan wanita, batas-batas pengertiannya hingga sekarang belum ditemukan. Karena hanya ditentukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja.

Seringkali, dalam KUHP selain dari menentukan unsur-unsurnya perbuatan yang dilarang, di situ juga diberi kualifikasinya perbuatan. Misalnya dalam Pasal 362 dan 480 tadi, disamping menentukan elemen-elemennya, juga ditentukan bahwa kualifikasinya adalah “pencurian” dan “penadahan”.

Bertalian dengan cara yang demikian ini, maka diajukan soal, apakah dalam hal yang demikian, kualifikasi harus dipandang sebagai singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan di situ, ataukah juga mempunyai arti tersendiri, lepas dari penentuan unsur-unsur, sehingga ada dua batasan untuk perbuatan yang dilarang, yaitu batasan menurut unsur-unsurnya, dan menurut pengertian yang umum (kualifikasi).

Van Hattum (hlm 119 dst) menulis bahwa menurut perkataan dalam memorie van tpelichting (MvT) tidak ada keragu-raguan, bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi di samping penentuan unsur-unsur, adalah sekedar untuk memudahkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja; jadi laksana suatu etikad untuk apa yang terkandung dalam rumusan. Akan tetapi, demikian Van Hanttum selajutnya, dalam praktik pengadilan ada tendes atau gelagat untuk memberi arti sendiri kepada kualifikasi. Misalnya dalam putusan hooge read tahun 1927 mengenai penadahan, di mana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri untuk menarik keuntungan, tidak mungkin dikenai pasal mengenai tentang penadahan, sekalipun dengan apa yang diperbuatnya itu, semua unsur-unsur ada dalam pasal 480 telah dipenuhi. Sebab pasal ini maksudnya adalah untuk mempermudah dilakukan kejahatan lain (begunstingings-misdrijf), dimana diambil sebagai dasar, bahwa perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan dan dari mana barang tadi didapatnya.

Juga dalam teori hal itu menjadi persoalan. Kalau ada orang yang kecurian sesuatu barang, kemudian orang tadi pergi ke tempat loak, melihat barangnya disitu, serta membeli barang tadi kembali, apakah orang itu juga dapat dituntut karena pasal 480? Menurut pasal unsur-unsurnya, perbuatan yang masuk dalam pasal tersebut, sebab dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari barang kejahatan. Tetapi berhubungan dengan itu ada juga yang mengatakan: bahwa orang tadi sesungguhnya tidak “membeli” barang tersebut, sebab barang sendiri, sehingga tidak mungkin dinamakan penadahan. Jadi, tidak termasuk dalam kualifikasi 480, sekalipun unsur-unsur telah dipenuhi.

Van Hattum mengatakan, bahwa jika pemberian arti tersendiri pada kualifikasi itu didasarkan atas alasan-alasan rasional, (masuk akal) ini dapat memberi manfaat dalam penggunaan hukum pidana. Sebaba pada hakikatnya penentuan unsur-unsur dalam rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja.

Dalam hal-hal yang khusus, pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi berdasarkan atas alasan-alasan rasional, dapat mencegah pengenaan suatu delik pada perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan. Akan tetapi janganlah pengertian tersendiri dari kualifikasi itu digunakan secara phaenomenologis, yaitu meski perbuatan telah memenuhi unsur-unsur delik, tetapi tidak dapat dimaksudkan dalam kualifikasi, dengan alasan bahwa perbuatan itu dem Wesem nach (menurut hakikatnya) memang tidak masuk dalam kualifikasi tersebut jadi tanpa diberi alasan rasional apa pun, halnya atas “perasaan” saja.

Contoh; seorang Hilter-jugend merebut bendera dari tangan katolik (pada Zaman Nazi). Dikatakan, bahwa perbuatan tersebut bukan pencurian, karena pencuri itu bukankah orang yang mengambil barang orang lain dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum, akan tetapi pencuri adalah orang yang dem Wesen nach Dieb ist (orang yang menurut hakikatnya mencuri).

Dalam menghadapi pertentangan antara pengertian rumusan delik dalam unsur-unsur yang ditentukan dalam wed dan pengertian kualifikasi ini, hemat saya dapat menerima nasihat seorang penulis Belanda (Vos. Hlm. 36) yang mengatakan bahwa dalam banyak hal, pertentangan itu dapat diatasi, jika kita berpendapat bahwa sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material (materiielewedderrechtelijkheid). Apa artinya ini akan diterangkan nanti kalau menghadapi masalah tersebut.

Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan material, dapat disebut pula delik formal dan material.

Berbeda dengan pembedaan delik-delik yang akan disebut 12 di mana kenyataannya sifatnya masing-masing memang berbeda, di sini perbedaan tidak mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja.

Jadi, dalam kenyataan tidak ada perbedaan sifat antara delik formal dan material. Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing delik. Karenanya, istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari: delik yang dirumuskan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam fomulering adalah kelakukannya. Sebab macam itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 362 KUPH mengenal pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu kelakuan diremuskan sebagai “mengabil”. Akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa sikorban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak di pandang penting dalam formulering dalam pencurian.

Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok dilarang.

Bagimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting.

Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (Pasal 358) karena yang dianggap pokok yang dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak penting sama sekali.

Perlu diajukan pula, bahwa hemat saja ada rumusan-rumusan yang formal-material. Artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tetapi juga akibat. Contoh adalah Pasal 378 KUHP, yaitu penipuan.

Akibat; yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, atau memberi utang maupun menghapuskan piutang, mengingatkan pada rumusan yang material. Meskipun demikan tidak setiap cara untuk menggerakan hati orang yang ditipu, masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal di atas. Hanya kalau caranya menggerakan hati itu, memakai nama palsu, martabat menurut Pasal 378. Disisni terang ada rumusan formal.

Mungkin ada orang yang bertanya kalau memang hanya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan. Jawaban ialah: oleh karena perbedaan perumusan itu di satu pihak mempunyai kosenkuensi lain dalam pembuktian; di lain pihak, dan bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sanksi pidana dirumuskan secara formal atau material. Hal ternyata dalam sejarah Pasal 154 KUHP? yang dulunya dirumuskan secara material, dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah menjadi formal.

Dahulu perumusan pasal tersebut adalah: menimbulkan atau mempermudah timbulnya (opwekken bevorderen) perasaan perumusan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Jadi suatu akibat tertentu yang dilarang (material). Dalam tahun 1918 diganti dengan: di muka umum mengatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia-Belanda (formal). Kalau sudah di buktikan bahwa terdakwa di muka umum menyatakan perasaan seperti tersebut diatas, sudah cukup untuk adanya perbuatan pidana tadi. Dahulu harus di buktikan adanya perasaan permusuhan kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah di kalangan penduduk. Kemudian harus dibuktikan bahwa perasaan itu disebabkan karena perbuatan terdakwa, hal-hal mana tentunya sangat sukar.

BACA JUGA:
Kumpulan Azas, Doktrin Dan Adigium Hukum Yang Paling Sering Dipakai Dalam Perkara Perdata Dan Pidana 
 

0 komentar: