Syarat Formil Dan Nilai Kekuatan Pembuktian "Pengakuan"

Sunday, 19 August 2018

Syarat Formil Dan Nilai Kekuatan Pembuktian "Pengakuan"

 

Syarat Formil Alat Bukti Pengakuan


Sebelum lanjut pada pokok bahasan, terlebih dahulu pastikan anda sudah memahami apa yang dimaksud dengan "alat bukti pengakuan" menurut hukum perdata Indonesia, dasar hukum dan hal-hal lain tentang "alat bukti pengakuan" yang sudah diulas di artikel sebelumnya: Dasar Hukum Pengakuan Sebagai Alat Bukti Yang Sah

Dilakukan Di Muka Hakim

Agar sah sebagai alat bukti, pengakuan harus dikemukakan di muka persidangan dan hal itu disampaikan dalam proses pemeriksaan persidangan, tidak dibenarkan di luar proses persidangan. Meski pengakuan dikemukakan di muka Hakim, tetapi dilakukan di luar p[roses persidangan, tindakan itu tidak memenuhi syarat formil yang diatur oleh undnag-undang. Hal itu secara tegas dikatakan dalam Pasal 1927 KUHPer, Pasal 175 HIR, bahwa pengakuan lisan yang dilakukan di luar pengadilan, tidak sah dan tidak bernilai sebagai alat bukti pengakuan.

Pada dasarnya, ini saja yang menjadi syarat formil keabsahan pengakuan sebagai alat bukti. Syarat formilnya tidak sebanyak dan serumit alat bukti tulisan atau saksi sehingga tidak begitu sulit memahami dan menerapkannya.

Nilai Kekuatan Pembuktian Pengakuan

Nilai kekuatan pembuktian pengakuan yang dilakukan dalam persidangan menurut Pasal 1925 KUHPer, Pasal 174 HIR daya mengikatnya menjadi bukti yang memberatkan bagi pihak yang melakukan pengakuan, nilai kekuatan pembuktian yang sempurna kepada pihak yang melakukannya. Apabila pengakuan itu murni, kualitas nilai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna itu meliputi juga daya kekuatan mengikat (bindende) dan menentukan (blelissende).

Salah satu contoh, Putusan Mahkamah Agung No. 546 K/Sip/1983. Dalam memeriksa persidangan tergugat mengakui utangnya kepada penggugat, tetapi pengakuan itu diikuti dengan pernyataan tambahan: “belum mampu membayar,” karena kegiatan usahanya macet. Menurut pandangan MA, pengakuan yang ditambah dengan pernyataan tersebut bukan pengakuan bersyarat, tetapi bersifat murni dan bulat, sehingga dalam pengakuan itu tidak berlaku “azas tidak boleh dipisah” atau onsplitsbaar bekentenis (onsplitsbaar aveau) yang digariskan Pasal 1924 KUHPer. Dengan demikian MA berpendapat, pengakuan itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan, dan pengakuan itu tidak dapat ditarik kembali tanpa alasan yang dibenarkan hukum. Apalagi selain pengakuan itu, Penggugat masih mengajukan bukti P-18 yang juga diakui oleh Tergugat. Oleh karena itu, terbukti besarnya utang tergugat sejumlah utang pokok ditambah bunga.

Dari ketentuan Pasal 1925 KUHPer, Pasal 174 HIR dihubungkan dengan putusan di atas, apabila pengakuan yang diberikan meliputi seluruh dalil dan tuntutan (petitum) yang bertitik tolak dari dalil tersebut, maka pengakuan yang demikian dikategorikan sebagai pengakuan yang bulat dan murni sehingga tidak ada lagi yang disengketakan antara penggugat dan tergugat. Dalam pengakuan yang demikian pula, melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan (volleding, bindende en beslissende, bewijskracht)
________________________
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg)
Putusan Mahkamah Agung No. 546 K/Sip/1983

Related Posts:

0 komentar: