Oleh: Beno Widodo & Eka Pangulimara H
Dilansir kembali untuk keperluan bahan bacaan dan penyadaran untuk kaum buruh
“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua untuk semua”, “satu untuk semua”, “semua untuk satu”. (Cuplikan pidato Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945).
Tinjauan Teoritis (Neoliberalisme)
Kisah panjang gerak kapitalisme, tidak lain merupakan salah satu produk sejarah dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Tonggak sejarah yang ditandai oleh revolusi industri di tahun 1776 dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, tidak jarang memberikan catatan tersendiri soal peperangan yang mewarnainya. Depresi hebat yang melanda Amerika Serikat di tahun 1930-an berakibat ledakan pengangguran yang tak terbendung. Ekspresi kebebasan pasar yang didengung-dengungkan sebagai penanda Kesejahteraan rakyat ala Wealth of Nation –nya (kitab suci kaum kapitalisme dunia) Adam Smith, berakibat buruk atas kerakusan kapitalisme itu sendiri dalam meraih pangsa pasarnya, sebagai pencerminan watak dasar dari kapitalisme.
Akumulasi produksi yang berbanding terbalik dengan penyerapan pasar juga memperkaya faktor gejolak ekonomi. Tingkat daya beli yang terbatas, memperburuk laju konsumsi, yang pada gilirannya berubah menjadi stagflasi bagi perekonomian ketika itu.
Kehadiran sang dewa penolong Jhon Maryard Keynes, memberikan impak positif atas sumbangan pemikirannya yang tertuang dalam karya populernya, dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), Keynes berpandangan, mengenai ketersediaan lapangan kerja secara umum ditentukan oleh adanya permintaan akan barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara. Kebijakan ala Keynesian menjadi tiang penyangga bagi program New Deal di Amerika Serikat akhir 1930-an. Masih dalam amaran teroritik Keynes, dugaan bahwa liberalisasasi pasar yang berlangsung alamiah, diharapkan peran serta pemerintah turut mengelola gejolak moneter, yang memberi titik tekan pada aspek keuangan dan tingkat suku bunga. Lagi-lagi Keynes hanyalah berharap-harap cemas, agar kepiawaian pemerintahan suatu negara mampu memengaruhi investasi. Dengan mengutak-atik suku bunga sebagai aspek yang berkaitan dengan permodalan dalam berusaha. Yang artinya dapat mendongkrak pendapatan nasional dan penciptaan lapangan kerja.
BACA JUGA:
BACA JUGA:
Pada situasi yang lain, beberapa ekonom pun tidak tinggal diam. Profesor Harrod-Domar, membidik persoalan kegagapan kapitalisme dalam penciptaan lapangan kerja, memiliki pandangan yang agak berbeda dari Keynes. Mereka berpendapat, perekonomian kapitalis hanya sedikit berpeluang untuk tumbuh dalam tingkatan yang stabil, dalam kondisi full employment. Sebaliknya, perekonomian akan tumbuh dalam fluktuasi antara periode pengangguran tinggi dan periode kekurangan tenaga kerja
Namun disamping itu, kapitalisme yang mengidap penyakit akut, dan mengganas itu, tidak banyak pilihan untuk mengobati luka-lukanya, selain dengan jalan peperanganlah secara mendadak dapat menyehatkannya kembali. Paul Sweezy dan Leo Huberman dalam ABC Sosialisme pernah mengungkap hal itu; dimana jalan perang adalah satu-satunya cara untuk membuang kelebihan produksinya, agar tetap laku terjual dan menghasilkan laba (Coen Pontoh: 2003). Situasi ini cukup terbukti dengan adanya perang dunia ke II di tahun-tahun 1939-1945.
Sembari membungkus strategi peperangannya, timbul pula oposan teoritik dari kalangan ekonom kapitalisme sendiri yang berhasrat untuk kembali pada konsepsi klasik yang mengidealkan kebebasan pasar, sebagai sebuah skenario proses hegemonik ekonomi kapitalnya. Teori Keynesian yang berangsung-angsur ternyata mulai ditinggalkan dan beralih pada konsepsi Neoliberalisme. Konsepsi ini meletakkan dasar-dasar awal mengenai struktur nilai tentang kebebasan individu, Demokrasi politik, pasar yang sanggup mengatur dirinya sendiri, dan kewirausahaan. Kemunculannya diperiode awal tahun 1980-an pasca krisis ekonomi yang kembali menimpa Amerika Serikat, diamini sebagai strategi penguasaan ekonomi yang mewarisi teori klasik yang telah termodernkan, karena bisa beradaptasi terhadap kondisi yang berkembang diberbagai negara. Dus, dihidupkannya maskapai-maskapai bisnis raksasa, dan terorganisir ke dalam Trans National Coorporation (TNC), maupun Multy National Coorporation (MNC). Perluasan dan ekspansi bisnis yang tidak mengenal ruang dan waktu, menembus batas-batas negara.
Dalam pengertian yang lebih tegas, neoliberalisme sendiri mengandung banyak bencana dan dapat dimaknai; pertama, sebagai metode skenario kapitalisme dewasa ini untuk menaklukkan kekuatan ekonomi dan Politik suatu negara. Penyebaran model penjajahan ekonomi ini akan merangsek keberbagai belahan dunia tanpa kecuali, salah satu incarannya ialah negara-negara dunia ketiga. Penciptaaan sumber bahan baku, dan biaya Upah Buruh yang murah akan didapatkan dari penguasaan negara-negara yang miskin, seperti Indonesia sekarang ini. Kedua, menciptakan demokrasi politik liberal, dimana faktor modal dijadikan penentu dalam arena pertarung politik. Faktanya, dianggap cukup membuka peluang besar di pihak kaum pemodal itu sendiri yang berpotensi memperebutkan kekuasaan politik. Hal ini berarti kapitalisme lebih mempermudah upaya penjajahannya, dengan mengangkat penguasa-penguasa di setiap negeri hanyalah berasal dari kaumnya, ataupun klas kapitalis itu sendiri. Dus, pemerintahan yang menghamba dan bersiap mengikuti apapun yang diinginkan oleh kaum kapitalis tersebut, kalau tidak mau dinvasi melalui peperangan (baca: invasi Irak).
Neoliberalisme di Indonesia
Tidak berpanjang lebar, pasca diberlakukannya UU No. 1 Tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia pada tahun 1967, sekaligus merombak perekonomian Indonesia menjadi surga bagi berjamurnya permodalan asing. Yang pada gilirannya melahirkan banyak industri di tangan beberapa gelintir orang.
Kekuasaan politik korup yang berlangsung 32 tahun di bawah rezim otoriter Soeharto, banyak menggantung pada faktor hutang dan menyeret Indonesia ke dalam jebakan kapitalisme. Kucuran pinjaman hutang dari CGI, Bank Dunia, dan IMF, semakin membawa kondisi yang amat sulit untuk terlepas dari ketergantungannya. Gejala inilah yang sampai detik pemerintahan SBY-JK, sebagai produk demokrasi liberal (baca: pemilu 2004), tidak dapat dihindari. Syarat-syarat yang habis dilaksanakan, mulai dari penjualan asset-aset negara, pencabutan subsidi, restrukturisasi keuangan, hingga liberalisasi perdagangan menjadi skenario mutlak atas kesepakatan Structural Adjustment Program (SAP’s).
Kekayaan sumber-sumber energi telah terkuras, keuangan negara defisit, pengangguran mencapai angka 10,26 % (BPS: 2005), lapangan kerja semakin menyempit, upah buruh semakin tidak menentu. Kondisi semacam inilah yang dinginkan kapitalisme global, dalam strategi neoliberalismenya dewasa ini. Suatu kondisi dimana negara terpuruk ekonominya, dan tinggi angka penganggurannya, lantas akan menerima mentah-mentah apapun resep eknomi neoliberal yang dianjurkan.
Yang paling nyata kita bisa lihat dan rasakan langsung proses neoliberalisme di Indonesia sekarang ini adalah terciptanya Undang-Undang/peraturan yang menghilangkan atau meminimalisir peran negara melindungi rakyatnya (lihat UU Perkebunan, UU Migas, UUK No.13 Tahun 2003, dll). Semua UU dibuat di bawah pengawasan IMF (walau secara opini Indonesia telah tidak lagi kerjasama dengan IMF) hasil kesepakatan dengan Soeharto 15 Januari 1998. Inilah bukti “penjajahan bentuk baru” itu, dan ini bukti senyata-nyatanya rakyat Indonesia “tidak merdeka”. Semua lini kehidupannya diatur oleh neoliberalisme melalui alat-alatnya dan UU.
Berangkat atas kedua tesis di ataslah penulis semakin yakin terhadap cengkraman neoliberalisme yang memperparah kemiskinan rakyat Indonesia hari ini.
“Bumi, Air, Ruang Angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara di digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
(UUD 1945 pasal 33)
Dampaknya Bagi Kaum Buruh
Dampaknya Bagi Kaum Buruh
“Esensi reformasi ekonomi neo liberalisme sangat dikenal luas yaitu: stabilisasi moneter, liberalisasi ekonomi, penyeimbangan budjet, deregulasi, privatisasi, pasar bebas. Demikianlah dominasi neoliberalisme dalam debat politik ekonomi di Amerika Latin. Tetapi penyelesaian ideologis neoliberalisme jauh melampaui pencapaian ekonomiknya, yang disetiap kasus telah menimbulkan biaya sosial tinggi.”
Problem terbesar yang dituduhkan pemerintah Indonesia sekarang ini, ialah tuntutan kaum buruh tentang jaminan upah yang layak, serta kepastian kerja dijadikan alasan pemerintah penyebab macetnya investasi. Benarkah demikian?
Ada banyak data yang dapat disuguhkan untuk membantah anggapan seperti ini. Salah satunya data mengenai daftar hambatan-hambatan usaha di Indonesia. Yang dikeluarkan oleh Asian Development Bank 2005 (Jalan Menuju Pemulihan: memperbaiki iklim investasi di Indonesia), lebih detil menjejerkan persoalan ketidakstabilan makro ekonomi, hingga high cost yang harus digelontorkan dalam memulai usaha di Indonesia. Nyaris tidak menyebutkan bahwa kaum buruh adalah problem penghambat investasi. Pun lembaga survey internasional WEF menilai mandegnya investasi di Indonesia disebabkan beberapa hal sebagai berikut : Birokrasi Pemerintah yang tidak efisien (21%), Infrastruktur yang tidak memadai (19%), Peraturan perpajakan (15%), Korupsi (11%), Kualitas sumber daya manusia (9%), Instabilitas kebijakan (7%)Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan (4%).
Akan tetapi, tidak akan mungkin kapitalisme merasa tenang jika kaum buruhnya sejahtera, mendapat upah layak, serikat buruhnya menguat, dan jaminan-jaminan perundang-undangan yang memihak kaum buruh. Masalahnya, terdapat perbedaan kepentingan yang mendasar antara kapitalisme dengan strategi neoliberalnya, dan kaum buruh yang rindu akan keadilan bagi dirinya.
Tingginya tingkat pengangguran dijadikan posisi tawar yang melemahkan tuntutan upah layak bagi kaum buruh. Ciri-ciri seperti ini merupakan desain ekonomi neoliberalisme agar dapat memeroleh sebanyak-banyaknya kaum buruh dengan upah yang rendah, dan menggenjot laju produktifitas dengan biaya produksi yang rendah pula. Dengan demikian keuntungan maksimal dapat tercapai dengan menggunakan sistem ekonomi neoliberal ini.
Prilaku politik pemerintah yang semakin hari condong pada resep ekonomi neoliberal di atas, dibuktikan melalui Kepres No.3 Tahun 2006 (Tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi). Salah satu tindakannya ialah sesegera membuat revisi atas UUK No.13 Tahun 2003, garis besar revisi yang diinginkan menyangkut status kerja, upah kerja, tunjangan-tunjangan kesejahteraan, hak pesangon, dan masih banyak lainnya. Tanpa ada satupun revisi yang berusaha memerbaiki kondisi kaum buruh melalui aspek hukum formal ini.
Sistem kerja kontrak yang semakin langgeng, dihadirkan dalam revisi pasal 59 UUK No. 13 Tahun 2003, menjadi 5 (lima) tahunan, dari maksimal 1 (satu) tahun. Artinya, kepastian status masa kerja, upah, jam kerja, hak pesangon mapun hak-hak normatif lainnya melenyap seiring ancaman pemberlakuan revisi ini. Pemerintah SBY-JK memerlukan penyesuaian terhadap mekanisme internasional tentang Labour Market Flexibility (pasar buruh lentur), dimana konsepsi yang mengatur posisi eknomi kaum buruh berlangsung secara global. Penyeleseian perselisihan buruh dan pengusaha pun tidak lagi melibatkan pemerintah, secara bipartit yang kemudian diatur juga dalam pasal 6 (enam) UU PPHI No. 2 Tahun 2004. Berbeda sekali dengan UU yang pernah muncul sebelumnya, misalkan UU No. 22 Tahun 1957 (Tentang Penyeleseian Perselisihan Perburuhan), dimana peran pemerintah berpatisipasi aktif melindungi rakyatnya, utamanya kaum buruh. Sikap abai pemerintah (SBY-JK) sekarang ini, tentu saja bertitik tolak dari aspek kebijakan neoliberalisme demi kelanggengan kekuasaannya sebagai bagian dari kepanjangan tangan kapitalisme global.
Pengkotak-kotakan serikat buruh, antara pemihak pengusaha sepenuh-penuhnya dengan banyak serikat yang independen menjadi problem tersendiri. Issue revisi UUK No. 13 Tahun 2003 baru-baru ini, memberi gambaran nyata. Bahwasannya serikat-serikat buruh yang tergabung ke dalam forum tripartit yang semula seolah menolak rencana revisi ini, akhirnya menerima penundaan pemberlakuan revisi, kondisi ini sama halnya menerima revisi, dikarenakan tidak secara tegas menolak rencana revisi tersebut.
Bagi pengusaha, berdiri dan menguatnya serikat berarti ancaman terhadap prilakunya yang menekan serta menghisap kaum buruh. Karena di dalam serikatlah kaum buruh mendapatkan pengetahuan nilai-nilai kebenaran, dan hak-haknya yang mesti diterima, yang selama ini dirampas oleh kaum pengusaha kapitalistik.
Menguatnya serikat tentunya akan berdampak positif pula bagi penggalangan persatuan seluruh serikat buruh yang berpotensi mengganggu kestabilan penjajahan ekonomi neoliberal sekarang ini.
Perlawanan Kaum Buruh
Di negeri asal kelahiran neoliberalisme sendiri mendapat tekanan perlawanan yang cukup besar oleh kaum buruh, May Day 2006 di Amerika (Sylvia Tiwon: 2006), bahkan diikuti beberapa negara mulai dari Mexico, El Salvador, Brazil, mengikabarkan bendera perlawanan, atas dampak neoliberal bagi kaum buruh di dunia. Di tanah air, peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2006 kemarin, memunculkan terbangunnya konsolidasi kekuatan gerakan buruh di dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM), dimana salah satu serikat buruh independen, KASBI tergabung di dalamnya. Menandai semangat perlawanan yang lebih berarti ketimbang upaya retorika yang dilakukan serikat-serikat yang bimbang berhadapan dengan pemerintahan yang mengadopsi strategi neoliberal ini.
Perlawananan gerakan buruh terhadap kapitalisme dan strategi penjajahan ekonomi neloliberalnya, merupakan bukti sejarah yang tak dapat dipungkiri dan tidak akan pernah berhenti, seperti KASBI dan ABM yang juga baru memulai langkah besarnya. Kaum buruh sebagai bagian terbesar dari elemen penggerak roda perekonomian saat ini, sudah seharusnya menyelamatkan gerak perekonomian Indonesia agar tidak menggelinding yang akhirnya menjadi ekonomi Indonesia yang murni kapitalistik
Dibutuhkannya kesiapan dan kematangan dari gerakan buruh yang berproses dengan kesadarannya pada saat melawan, dan mulai memerinci tindakan kongkret yang perlu dilakukan; pertama, agenda persatuan gerakan buruh yang berbasis pada program kerja yang nyata, dan dapat memandu gerak persatuan gerakan buruh saat ini. Kedua, mempersiapkan kepemimpinan gerakan buruh dilihat dari figur, issue/program yang diangkat, dan gerakan massa yang lebih besar. Ketiga, sambil berusaha belajar, dan menggali temuan UU Perburuhan yang paling tepat (memihak sepenuhnya pada kaum buruh) untuk menandingi UUK versi pemerintah hari ini. Keempat, turut merumuskan konsepsi strategi ekonomi yang berbasiskan pada penguatan industri nasional, dan sasaran nasionalisasi aset-aset berupa kekayaan energi ke tangan negara.
Dan terakahir, merupakan faktor yang cukup berpengaruh ialah propaganda akan pentingnya kesadaran politik dan perjuangan politik kaum buruh, sebagai bagian dari pendidikan politik. Bersama-sama dengan gerakan rakyat lainnya (petani miskin, nelayan, budayawan, mahasiswa, dan kalangan tertindas lainnya) serta membangun blok perlawanan terhadap penjajahan ekonomi neoliberalisme. Serta penggalangan solidaritas gerakan buruh internasional melawan neoliberalisme. Kesadaran akan pentingnya kepemimpinan gerakan buruh, sangat diperlukan, karena untuk mencapai semuanya, tidaklah mungkin, jikalau gerakan buruh tidak sampai pada wilayah kekuasaan politik, dan berikhtiar untuk berkuasa. Sebagai langkah mendesak untuk segera merealisasikan pengusiran serta perombakan sistem ekonomi neoliberalisme kepada sistem keadilan dan kesejahteraan bagi kaum buruh dan rakyat terindas lainnya
Sebagai referensi obyektif dan ilmiah dari sebuah sejarah Bangsa sendiri adalah peran gerakan Buruh (kaum Buruh dan rakyat tertindas lainnya) ketika melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ketika Indonesia baru merdeka, di bawah bung Karno. Dari negara lain saat ini buruh-buruh tambang di Venezuela menjadi tulang pungung pemerintahan presiden Chaves melawan neoliberalisme dan di Bolivia petani coca, serikat buruh dan organisasi perempuan menjadi kekuatan utama presiden Morales melawan keserakahan neoliberalisme.
“Disini, diantara Buruh dan Tani kami generasi yang kalah menemukan kebenaran dan kekuatanya kembali. Inilah satu-satunya rumah kami" ( Emmanuel F Lacaba)
Semoga berarti & meyakinkan pada jalan pembebasan yang kita pilih.
Penulis adalah Aktifis Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
0 komentar:
Post a Comment