Hukum pada hakekatnya merupakan produk dari relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat, dan merupakan alat dari kelas penguasa untuk mempertahankan sistem yang ada. Oleh karena itu, hukum sendiri tidak akan mampu menghasilkan suatu perubahan sosial. Akan tetapi, meskipun hukum merupakan produk dari kelas yang berkuasa, hukum sendiri menjamin hak-hak yang meskipun sangat minim bagi rakyat tertindas. Oleh karena itu kaum buruh harus dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan hukum agar dapat mempertahankan hak-hak yang telah dijamin secara minimal oleh hukum yang ada.
Berdasarkan hal itu, sebelum kita masuk dalam uraian mengenai hak-hak normatif kaum buruh, terlebih dahulu kita bahas mengenai politik hukum perburuhan di Indonesia. Hal ini diperlukan agar kaum buruh tidak menerima begitu saja hukum yang ada. Dan menerima sebagaimana adanya. Namun juga menjadi pendorong bagi kaum buruh untuk melakukan suatu perjuangan agar hukum perburuhan yang ada dapat berubah sehingga lebih menguntungkan bagi kepentingan kaum buruh. Hukum merupakan produk dari relasi-relasi kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, Hukum adalah produk politik, dan politik yang dijalankan selama ini adalah politik bagi kepentingan kelas berkuasa. Dalam ini produk hukum yang ada di negara kapitalis adalah untuk melindungi kepentingan kapitalis. Kaum kapitalis menggunakan segala perangkat negara seperti birokrasi, militer dan perangkat hukumnya untuk memperlancar usaha-usahanya.
Artinya, jika kekuatan buruh semakin kuat, maka hukum yang ada akan semakin berpihak kepada kaum buruh. Kondisi ini hanya bisa terjadi, bila kaum buruh tidak hanya melakukan perjuangan ekonomi, namun menggabungkan perjuangan ekonomi dan politik. Dalam hal ini, perjuangan agar terjadi transformasi hukum perburuhan juga harus terus dilakukan oleh kaum buruh.
Selama masa Orde Baru berkuasa hingga kini, hubungan perburuhan dilandaskan pada ideologi Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Konsepsi HIP ini bermula dari konsep Jendral Ali Murtopo pada tahun 1974 dengan nama Hubungan Perburuhan Pancasila. HIP mengidealkan hubungan antara majikan dengan buruh yang kontradiktif menjadi hubungan yang harmonis dan kekeluargaan. Pengusaha dan buruh dianggap setara dan sebagai mitra dalam proses produksi. Ini jelas-jelas pengelabuan dari fakta yang sesungguhnya. Jelas bahwa hubungan antara pengusaha dan buruh adalah saling bertolak belakang. Pengusaha berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Ini berarti pengusaha akan selalu menekan agar upah buruh tetap rendah. Sedangkan kaum buruh berusaha agar upah semakin besar dengan jam kerja yang semakin pendek. Oleh karena itu, merupakan hal wajar terdapat konflik antara pengusaha dan buruh.
Akan tetapi, sejalan dengan ideologi HIP ini, maka konflik perburuhan dianggap bertentangan dengan ideologi negara, karena mengganggu keharmonisan. Ini diterapkan pemerintah secara represif dengan menganggap pemogokan buruh sebagai gangguan keamanan dan ketertiban. Misalnya pihak kepolisian memasukkan data pemogokan dalam data mengenai kasus gangguan keamanan.
Hukum Berfungsi Mengontrol Kaum Buruh
Pengaturan pemerintah terhadap organisasi buruh merupakan dasar politik perburuhan nasional yang bertujuan untuk mengontrol kaum buruh agar kepentingan kaum pemilik modal tidak terganggu. Melalui produk-produk hukum yang ada dilakukan kontrol terhadap organisasi buruh. Sejak awal Orde baru lahir ditahun 1965, pemerintah selalu terlibat dalam proses pembentukan serikat buruh, baik secara langsung ataupun melalui perangkat peraturan perundang-undangan. Campur tangan pemerintah ini jelas bertentangan dengan Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 (diratifikasi dengan Kepres No.83 tahun 1998) Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 (diratifikasi dengan UU No. 18 Tahun 1949) serta UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan, yang kesemuanya menjamin kebebasan buruh untuk berorganisasi dan berunding bersama tanpa campur-tangan pemerintah.
Sebelum Suharto jatuh, hanya ada satu Serikat Buruh yang boleh berdiri yaitu SPSI. Keadaan ini berubah setelah Suharto jatuh, keberadaan serikat buruh selain SPSI dimungkinkan. Apalagi setelah diundangkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Namun, UU yang baru ini pun masih mempertahankan esensi yang lama, yaitu pemerintah masih diberi hak untuk campur tangan dalam organisasi buruh.
UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh masih mempertahankan campur-tangan pemerintah dengan tetap mempertahankan otoritas pemerintah sebagai pemberi keabsahan (legalitas) suatu organisasi buruh melalui kewajiban pencatatan dan pendaftaran bagi bekerjanya suatu organisasi buruh (pasal 18). Hanya serikat buruh yang telah diakui oleh Pemerintah yang dapat mewakili buruh dalam hubungan perburuhan (pasal 25). Pemerintah juga masih berpeluang campur-tangan dalam menentukan asas, bentuk dan tujuan dari serikat buruh sebagai syarat pendaftaran organisasi buruh. Selain itu pemerintah juga masih dapat mengontrol organisasi buruh dengan mekanisme pencabutan nomor pendaftaran dari organisasi buruh tersebut dengan alasan administratif .(pasal 42)
Selain itu Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000 juga membatasi kebebasan berorganisasi hanya sebatas: perundingan pembuatan KKB dan sebagai wakil dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan. Pembatasan ini menolak hak serikat buruh untuk ikut menentukan kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum dan lainnya yang mempengaruhi kehidupan kaum buruh.
Pemberangusan Serikat Buruh baik melalui cara-cara halus maupun cara-cara represif saat ini justru kerap dilakukan olah para pengusaha. Aktivitas serikat buruh sering dihadapkan pada kekerasan aparat, termasuk para preman saat kawan-kawan buruh melakukan mogok.
Pengusaha dan pemerintah juga tidak segan-segan menggunakan pasal-pasal karet dalam KUHPidana untuk membungkam aktivitas kaum buruh sekaligus mencap gerakan buruh sebagai tindakan criminal (kriminalisasi). Tuduhan kriminal terhadap kaum buruh hampir selalu dilakukan terhadap buruh yang melakukan unjuk rasa, demonstrasi atau mogok kerja di pabrik-pabrik atau instansi pemerintah. Tuduhan kriminal ini mampu membuat kaum buruh merasa tertekan, apalagi jika mereka ditangkap dan diadili dengan alasan melakukan penghinaan, penghasutan dan mengganggu ketertiban umum. Bahkan dengan keberadaan UU tentang Menyatakan Pendapat, kaum buruh di pelabuhan, bandara udara akan diancam dengan tuduhan pidana mengganggu ketertiban umum jika melakukan pemogokan, karena di tempat-tempat vital seperti pelabuhan, bandara dan instalasi vital dilarang untuk dilakukan unjuk-rasa atau pemogokan.
Dengan memahami hakekat hukum yang sebenarnya merupakan produk politik yang berpihak kepada kaum kapitalis sebagaimana diuraikan di ataslah kita dapat memandang hukum dalam kerangka perjuangan kaum buruh merebut hak-hak yang selama ini dirampas oleh kaum pemilik modal.
Dalam mempelajari dan memahami dan mempraktekkan hukum perburuhan, kita tidak akan menerima hukum ini sebagai suatu hal yang sudah baku dan tak dapat diubah. Namun kita memandangnya sebagai suatu produk politik yang akan selalu berubah, tergantung kondisi kekuatan kaum buruh itu sendiri.
Kita akan mempergunakan kesempatan-kesempatan yang diberikan hukum yang menguntungkan bagi perjuangan kaum buruh. Misalnya kita akan berpatokan pada hak-hak normatif sebagai hak yang telah ditentukan oleh hukum sebagai hak kaum buruh sebagai langkah awal kita untuk menuntut hak-hak kita pada pengusaha dan negara. Artinya kita akan mempergunakan hukum sebagai salah satu taktik perjuangan kita, namun bukan sebagai tujuan kita. (Redaksi)
0 komentar:
Post a Comment