Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan: Hantu Di Siang Bolong

Wednesday 7 August 2019

Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan: Hantu Di Siang Bolong

Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan

Opini

Oleh Musrianto, S.H.

Akhir-akhir ini, jagad perburuhan di Indonesia dihebohkan dengan isu adanya rencana revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan atau biasa disingkat dengan “Undang-Undang Ketenagakerjan atau UU No. 13 Tahun 2003. Pada dasarnya, isu revisi tersebut bukan kali ini saja ada. Boleh dibilang hampir setiap tahun keinginan untuk merevisi Undang-Undang tersebut kerap dilontarkan oleh kalangan pengusaha, namun kehebohan yang timbul tidak seperti saat ini.

Dalam pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo beberapa waktu yang lalu, kalangan pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) meminta kepada Presiden RI untuk melakukan revisi terhadap Undang Undang Ketenagakerjaan. Setidaknya ada 6 (enam) point yang diminta oleh kalangan pengusaha untuk dilakukan revisi, mulai dari pengupahan, pesangon, fleksibelitas jam kerja, serikat pekerja, tenaga kerja asing sampai dengan perihal outsourcing. Sehari setelah itu, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Republik Indonesia, Hanif Dhakiri kemudian merespon hasil pertemuan tersebut dengan menyatakan bahwa pihaknya (Kementerian Tenaga Kerja) telah melakukan kajian untuk merevisi Undang Undang Ketenagakerjaan namun enggan untuk menyebutkan point-point apa saja yang dikaji. 

Tidak berhenti sampai di situ, Hanif pun kembali melakukan kontroversi dengan statement-nya yang menyebut undang undang atau regulasi ketenagakerjaan Indonesia kaku seperti “kanebo kering”. Hal itu disampaikan oleh Hanif pada hari yang sama dimana Presiden yang baru saja pulang dari kunjungan kerja ke KTT Asean ke 34 di Bangkok mengumpulkan para Menteri Kabinet Kerja di Istana Presiden untuk menindaklanjuti permintaan revisi UU Ketenagakerjaan. 

Dengan adanya permintaan untuk merevisi undang undang ketenagakerjaan dan respon aktif dari pemerintah, jelas bagaikan hantu di siang bolong yang terus membayangi kehidupan kaum buruh. Selama ini kaum buruh merasa terus mendapatkan tekanan yang kuat dari kalangan pengusaha, bahkan harapan untuk hidup sejahtera dari hasil kerjanya semakin terasa berat untuk dicapai. Sehingga tidak ada pilihan lain selain dari pada menolak rencana revisi undang undang dimaksud, dengan melakukan unjuk rasa-unjuk rasa.

Dari hal-hal tersebut diatas, timbul pertanyaan, seperti apakah bentuk atau isi naskah resmi dari rencana revisi tersebut, baik yang telah diajukan oleh kalangan pengusaha kepada pemerintah maupun naskah resmi yang tengah dikaji oleh pemerintah, dalam hal ini oleh pihak Kementrian Tenaga Kerja RI sebagaimana diungkapkan oleh Hanif Dhakiri? Sementara sampai saat ini sulit sekali mendapatkan informasi yang valid keberadaan bentuk atau draft revisi yang dimaksud. Pun demikian dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 25 Juli 2019, dari 17 pengesahan perpanjangan pembahasan RUU tidak ada menyinggung terkait rencana revisi udang-undang ketenagakerjaan. 

Meski demikian belum lama ini Pusat Analisis Dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM R.I Tahun 2018 menerbitkan sebuah naskah mengenai Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagakerjaan yang isinya menyinggung mengenai usulan revisi Undang-Undang Ketenagarjaan, yaitu:
Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan
Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagakerjaan yang isinya menyinggung mengenai usulan revisi Undang-Undang KetenagarjaanTahun 2018 Pusat Analisis Dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM R.I

Adapun pada bagian akhir laporan tersebut, Menkumham memberi kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan terhadap 17 (tujuh belas) peraturan perundang-undangan yang menjadi objek analisis dan evaluasi, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebanyak 1 (satu) Undang-Undang perlu diganti yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sudah beberapa kali dijudicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan butir ke 237 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah; b. materi Peraturan Perundangundangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau c. esensinya berubah, Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.

2. Sebanyak 5 (lima) Undang-Undang perlu diubah , yakni:
  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Sebanyak 1 (satu) Peraturan Pemerintah yang perlu dicabut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.

JANGAN LEWATKAN ARTIKEL BERIKUT INI:


4. Sebanyak 2 (dua) Peraturan Pemerintah yang perlu diubah yakni:
  • Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
5. Sebanyak 2 (dua) Peraturan Presiden, yang beberapa ketentuan pasalnya perlu diubah, yakni:
  • Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2000 Pengawasan Ketengakerjaan;
  • Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
6. Sebanyak 2 (dua) Peraturan Menteri, yang beberapa ketentuan pasalnya perlu diubah, yakni:
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain;
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah. 
B. Rekomendasi

1. Penyusunan (penggantian) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu segera ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Penggantian Undang-Undang Ketenagakerjaan ini menyesuaikan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. 

2. Perubahan beberapa Undang-undang yang terkait dengan Ketenagakerjaan yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketengakerjaan.

3. Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Dalam Negeri.

4. Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

5. Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

6. Perubahan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2000 Pengawasan Ketengakerjaan dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

7. Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Jika merujuk kepada hasil laporan analisis diatas, maka tidak hanya Undang-Undang Ketenagakerjaan saja yang harus mengalami perubahan atau penggantian., tetapi beberapa Perundang-Udangan yang berkaitan pun turut serta dilakukan perubahahan (penggantian).

Memperhatikan desakan yang semakin agresif yang dilakukan oleh kalangan pengusaha (APINDO) terhadap pemerintah untuk segera melakukan perubahan undang undang ketenagakerjaan, bukan hal yang tidak mungkin pemerintah segera melakukan perubahan atas nama kemudahan berinvestasi dan pembukaan lapangan pekerjaan untuk menekan angka pengangguran. Namun yang masih “tanda-tanya” adalah apakah pemerintah akan memilih jalan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Pilihan tersebut tentunya dengan pertimbangan efisensi waktu. Dengan kondisi politik nasional pada saat ini, dimana koalisi partai pendukung pemerintah (Presiden) mendominasi parlemen maka besar kemungkinannya baik revisi maupun perubahan atau Perppu dapat dengan mudah terlaksana.

Pertanyaan selanjutnya adalah, dimanakah posisi gerakan buruh di Indonesia saat ini terhadap adanya rencana revisi tersebut? Jika diperhatikan dari berbagai media baik cetak maupun eletronik, terutama media social, rupanya gerakan buruh Indonesia terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok yang mendukung dan kelompok yang menolak. Kelompok yang setuju revisi tidak malu-malu untul untuk membahasnya secara terbuka bersama-sama dengan kalangan pengusaha (APINDO). Sementara pihak yang menolak mendesak pemerintah untuk membuat undang undang baru yang lebih baik

Namun demikian apabila menilik dan menelisik dari beberapa point yang diminta untuk direvisi oleh kalangan pengusaha (APINDO) untuk dan atas nama investasi, kemudian merujuk kepada sejarah lahirnya undang undang ketenagakerjaan pada saat itu banyak pendapat, khususnya kaum buruh yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai produk yang pro pengusaha. Hal ini didasarkan pada alasan utama bahwa kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan lebih banyak merugikan kaum buruh. Sehingga berbagai gerakan demonstrasi penolakan (pencabutan / penghapusan) dan upaya uji materi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan memberikan perlindungan bagi kaum buruh. Dan yang penting untuk diingat adalah, dibalik lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan ada kekuatan lain yang bermain selain kekuatan yang bersifat nasional, yaitu kekuatan asing yang tercantum dalam paket kebijakan ekonomi IMF. Untuk dapat mengetahui paket kebijakan IMF dimulai sejak kapan? Kiranya perlu dijelaskan secara diakronik sejarah singkat peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia.

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 Tentang Kerja (disahkan 20 April 1948); Pengesahan UU ini diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 dari RI untuk seluruh Indonesia;
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (disahkan 25 Maret 1957, LN/TLN: 42/1227); UU ini kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1957 Tentang Pengubahan UU tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (disahkan 23 September 1964, LN/TLN: 93/2686); UU ini mencabut semua peraturan-peraturan terkait pemutusan hubungan kerja yang berlaku di Indonesia;
  4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan (belum disahkan, LN/TLN: 73/3702); UU ini diubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dengan mencabut Pasal 199 UU No. 25/1997;
  5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1996 Tentang Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Rugi. Permen ini disempurnakan dengan terbitnya Kepmen 150/2000;
  6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan;
  7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (disahkan 25 Maret 2003, LN/TLN: 39/4279);
  8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (disahkan 14 Januari 2004, LN/TLN: 6/4356).
Undang-Undang Ketenagakerjaan dikatakan sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 1997. Namun karena adanya perlawanan dari kaum buruh yang menolak undang-undang tersebut, maka Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 1997 tidak diberlakukan. Alhasil, dibuatlah beberapa peraturan pelaksana tentang ketenagakerjaan. Perlu disampaikan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerja dibuat tanpa adanya naskah akademik, dan dibuat karena adanya tekanan dari kepentingan pemodal asing dalam memenuhi kebutuhan buruh di Indonesia. Artinya, karena adanya tekanan dan ikatan kesepakatan maka pemerintah perlu mengeluarkan undang-undang yang dapat mengakomodasikan kepentingan asing itu.

Dari hal-hal tersebut diatas, maka dapat kita temukan kesamaan motif dan tujuan dari yang saat ini dikehendaki dengan yang pernah dilakukan sebelumnya yakni upaya Perbudakan Gaya Baru atau Industrial Slavery. Industrial Slavery yaitu perbudakan yang timbul karena perkembangan dan kemajuan industri. Tenaga manusia dipekerjakan di pabrik-pabrik, pertambangan dan industri yang lain dengan upah minim sekedar bertahan hidup. Buruh sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu membutuhkan dan harus menerima putusan majikan apa adanya. Selain dari pada itu, buruh juga selalu ditempatkan sebagai pihak yang selalu 'meminta-minta', sementara pengusaha dikatakan adalah mereka yang selalu mengulurkan tangan membuka lapangan kerja dan mengentaskan kaum buruh dari pengangguran.

Sulitnya mencari kerja dan masih tingginya angka pengangguran saat ini telah memaksa buruh rela menerima penindasan atau pelecehan demi sesuap nasi dari para pengusaha. Pengeksploitasian secara brutal terhadap tenaga kerja telah menempatkan kaum buruh pada jerat-jerat penindasan teknologi modern ataupun perbudakan gaya baru. Meski perbudakan secara legal sudah tidak dikenal lagi, bukan tidak mungkin jerat-jerat ataupun nilai-nilai perbudakan itu sendiri terus menjelma. Bisa saja apa yang telah dialami oleh masyarakat dulu terulang kembali di masa-masa sekarang ini, atau bahkan lebih dari sekadar itu.

Dalam Indeks Perbudakan Dunia, perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya atau komoditas yang dapat diperjual-belikan, sehingga kemerdekaan orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan. Orang bisa dipekerjakan dan dibuang begitu saja layaknya barang seketika ia dianggap tidak lagi berguna. 
------------------------------
*) Penulis merupakan pengurus di Federasi Sarekat Buruh Perkebunan Patriotik Indonesia (SARBUPRI)

Ket: Tulisan diolah dari berbagai sumber

0 komentar: